Biro Naskah Pidato - Pada Tahun 1962, Presiden Soekarno meninjau dimulainya pekerjaan
pembangunan Jembatan Musi yang direncanakan dibuka pada Tanggal 10 April 1964,
setelah tertunda 2 tahun sejak tahun 1960. Dalam pidato sambutannya, presiden mengemukakan bahwa penundaan
itu terkait dengan revolusi Indonesia. Selain berbicara tentang revolusi Indonesia yang simultan, presiden juga berbicara soal upaya untuk merebut Irian Barat dari tangan penjajah Belanda. Berikut isi pidato presiden Sukarno saat meresmikan pembangunan Jembatan Musi 1962.
"SELURUH
RAKYAT DARI SABANG SAMPAI MERAUKE
BERTEKAD MEMBEBASKAN IRIAN BARAT DALAM
TAHUN INI JUGA!"
Palembang, 10 April 1962
Saudara-saudara,
Assalamu'alaikum
Warohmatullahi Wabarokatuh.
Merdeka!
Saudara-saudara,
sekalian, November ‘60 Bapak datang di sini, dan sekarang syukur alhamdulillah
datang lagi di sini. Sekarang bulan April 1962. Waktu Bapak dalam bulan Nopember
60 datang di sini, Bapak berjanji kepada Rakyat, bahwa pembangunan jembatan Musi
segera akan dimulai, dan pada waktu itu Bapak berkata: jembatan Musi ini harus
selesai dalam waktu tiga tahun. Jadi sebenarnya jembatan ini sudah harus dibuka,
November 60 ditambah dengan tiga tahun, November 63. Tapi, yah Saudara-saudara,
berhubung dengan beberapa kesulitan yang harus diatasi lebih dahulu, pemancangan
tiang pertama daripada jembatan Musi itu Insya Allah S.W.T baru dapat dijalankan
hari ini,10 April 1962. Jadi kalau saya hitung 3 tahun lagi, lama menjadi 10 April
1965. Karena itu, ya, meskipun Bapak minta maaf kepada Saudara-saudara sekalian,
bahwa permulaan pekerjaan membuka atau membuat jembatan Musi itu baru bisa
berjalan hari ini, Bapak sekarang perintahkan supaya jembatan Musi bisa dibuka tanggal
10 April 1964. Dan terutama sekali kepada pihak Jepang yang akan menjadi aannemer.
Duta besar .....saya minta berdiri.
Ini
Saudara-saudara Duta besar Jepang. Saya minta agar pihak Jepang yang menjadi
aannemer daripada jembatan ini bekerja keras, supaya pada 10 April 1964 Jembatan Musi sudah bisa dibuka. Kepada rakyat saya minta bantuan juga sekeras-kerasnya.
Nanti permulaan bulan April 1964 itu, ya sedialah masing-masing kambing untuk
dipotong, ayam untuk dipotong.
Ya, kecuali
daripada pihak Jepang saya minta kerja keras, saya minta juga supaya Rakyat Palembang
bekerja keras pula membantu agar supaya jembatan itu selesai. Ya, sebagai kemarin
saya katakan, Saudara-saudara sekalian, kan kita ini di dalam satu revolusi
yang saya namakan revolusi simultan. Coba tirukan: si-mul-tan, si-mul-tan. Apa
itu artinya?Artinya
simultan yaitu serentak-sekaligus-bersama-sama. Simultan serentak-sekaligus-bersama-sama.
Itu adalah arti perkataan simultan.
Memang
revolusi kita ini adalah satu revolusi yang serentak sekaligus-bersama-sama. Macam-macam
revolusi kita kerjakan bersama-sama. Dan sering sudah saya katakan bahwa
revolusi Indonesia itu adalah revolusi pancamuka. Panca artinya lima, muka artinya
muka. Muka lima. Rai, kata Pak Bastari. Rainya, mukanya revolusi kita itu
paling sedikit lima. Kataku berulang- ulang, revolusi kita adalah revolusi
nasional. Itu situ muka, untuk mendirikan satu negara nasional yang besar.
Revolusi
kita adalah revolusi politik untuk merombak cara pemerintahan yang kolot, yang
kuno, yang feodal, yang aristokratis, yang otokratis, yang diktator dan
lain-lain dengan satu cara pemerintahan demokratis yang sejati. Revolusi
kita adalah pula revolusi ekonomi, untuk merobah lama sekali ekonomi kolonial
menjadi satu ekonomi nasional. Revolusi kita adalah revolusi sosial, untuk
merobah satu masyarakat, susunan masyarakat yang kapitalis, yang membuat gendut
perutnya beberapa orang saja, menjadi satu susunan masyarakat yang adil dan
samarasa-samarata. Ha? (Hadirin: Makmur dulu pak!) Ha, apa? (Hadirin: Makmur
dulu pak!) Nanti dulu! Makmur dulu pak! Mau makmur, tapi tidak adil?
(Hadirin:
Tidak!) Adil tetapi makmur, makmur tetapi adil. Tempo hari saya katakan disini
jangan cuma makmur tok, makmurnya beberapa orang, tidak adil di kalangan Rakyat.
Makmur beberapa orang yang selalu berbuat demikian, kalau tempo hari. Makmur!
Makmur! Makmur! Makmur! Ya makmur dan adil. Makmur tetapi adil, adil tetapi
makmur. Ini adalah revolusi sosial.
Revolusi
kita adalah juga satu revolusi kebudayaan, untuk merobah satu susunan kebudayaan
kolot, feodal, kolonial menjadi satu kebudayaan Indonesia yang baru. Malahan
lebih daripada lima ini! Revolusi kita kataku, adalah juga satu revolusi untukmembuat satu
macam manusia Indonesia baru. Manusia Indonesia itu Saudara-saudara, bukan yang
baru, manusia Indonesia seperti yang sudah-sudah, hmm, badannya kecil-kecil,
kerempeng-kerempeng. Ngerti tidak, perkataan kerempeng? Bukan manusia yang gagah,
yang jiwanya tegap, tetapi manusia yang, kata orang Jawa: "Nun
inggih", "sumuhun dawuh", kata orang Sunda. Tidak, tetapi
manusia yang jiwanya tegap, badannyapun, potongannya bagus-bagus. Ya, membikin
satu jenis manusia Indonesia baru, dengan jiwa Indonesia yang baru pula. Karena
itu Bapak berkata, revolusi kita ini revolusi macam-macam revolusi, dikumpulkan
dalam satu revolusi yang mahabesar.
Bahkan
pernah saya katakan, dengan mengejek Duta besar Sovyet Uni yang duduk disana
itu, saya berkata bahwa revolusi Indonesia malahan lebih besar dan lebih luas daripada
revolusinya Duta besar Sovyet Uni. Lebih besar daripada revolusi Amerika. Amerika
itu pernah berevolusi Saudara-saudara!
Amerika itu
pernah dijajah oleh Inggris. Kemudian dalam tahun 1776 mengadakan satu revolusi,
melepaskan dirinya daripada penjajahan Inggris, sehingga Amerika menjadi satu
negara yang berdiri sendiri. Tapi revolusinya itu cuma revolusi nasional saja.
Hanya revolusi politik saja. Yaitu sekadar mengenyahkan kolonialisme Inggris
dari bumi Amerika. O, kita bukan, bukan cuma politik atau nasional saja. Tidak!
Revolusi kita adalah revolusi yang luas, yang macam-macam. Dan hebatnya macam-macam
revolusi harus kita jalankan serentak sekaligus bersama-sama. Karena itu aku
katakan revolusi Indonesia, didalam pidato saya kemarin pada waktu memperingati
Hari Penerbangan Nasional: Revolusi kita adalah satu revolusi simultan. Sekali
lagi: Revolusi kita adalah satu revolusi simultan. Harus serentak-sekaligus-bersama-sama,
artinya sekarang ini kita menjalankan, ya revolusi nasional, ya revolusi
politik, ya revolusi ekonomi, ya revolusi sosial, ya revolusi kulturil,
kebudayaan, ya revolusi membuat manusia baru, ya revolusi didalam segala hal.
Dan coba kita, misalnya saja sedang kita ini mengadakan perjuangan memasukkan
Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik. Dalam pada kita
menjalankan perjuangan itu, kita ya menambah produksi padi, kita ya mengadakan
revolusi dilapangan kebudayaan, kita ya mengadakan revolusi dilapangan politik,
kita ya mengadakan revolusi dilapangan sosial dan lain-lain sebagainya. Simultan!
Nah, maka membuat jembatan Musi pun adalah satu unsur kecil daripada revolusi
simultan itu tadi. Karena itu harus kita tanggulangi, harus kita
jalankan dengan semangat yang revolusioner. Jangan ngulerkambang kita membuat jembatan
musi itu. Jangan kita setengah-setengah, jangan kita Senen-Kemis menjalankan jembatan
Musi itu. Sebab harus kerja keras membanting tulang, memeras kita punya tenaga
agar supaya 10 April 1964 selesai. Boleh potong ayam, boleh potong kambing, boleh
makan ikan belida. Empek-empek boleh! Saya tidak tahu ini, yang menjalin pidato
itu menjalin perkataan empek-empek itu dalam bahasa Inggrisnya apa. I think you
cannot translate the word, "empek-empek". Tidak bisa disalin
di dalam bahasa Inggris. Disalin dalam bahasa Indonesiapun tidak bisa, apa lagi
dalam Bahasa Jawa, atau bahasa Kalimantan,
tidak bisa. Itu khas, khas bahasa Palembang, "empek-empek".
Ah,
Saudara-saudara, kita menjalankan revolusi simultan di lapangan ekonomi, sosial
dan lain-lain sebagainya, juga di lapangan nasional, politik nasional. Maka
oleh karena itu saya amat bergembira sekali bahwa Saudara-saudara menyambut
pidato Pak Achmadi tadi dengan semangat yang gegap gempita. Kemarinpun sudah
saya katakan bahwa meskipun kita mau berunding, tetapi toh kita bertekad bulat
untuk memasukkan Irian Barat didalam wilayah kekuasaan Republik dalam tahun ini
juga. Sekarang ini sudah bulan April, tanggal 10. Kalau aku hitung, April, Mei,
Juni, Juli, Agustus, September,Oktober,
November, Desember, tinggal 9 bulan lagi, Saudara-saudara. Sebelum sembilan bulan
ini lalu, Irian Barat harus sudah masuk di dalam kekuasaan Republik. Ini perlu
saya tegaskan sekali lagi. Kita sudah bersumpah, engkau sudah bersumpah kepada
batinmu sendiri, engkau sudah bersumpah, engkau sudah bersumpah, engkau hai
prajurit-prajuritsudah
bersumpah, kita sekalian sudah bersumpah memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah
kekuasaan Republik dalam tahun 62 ini juga.
Nah, tapi
kita mau berunding. Begini Saudara-saudara, tempo hari tanggal 19 Desember tahun
yang lalu saya memberikan Trikomando Rakyat atau Trikora. Pokok isi daripada Trikomando
itu apa? Ya, Saudara-saudara tahu, sudah tahu semuanya, saya beri perintah kepada
seluruh Angkatan Perang untuk siap sedia, setiap waktu kalau mendapat perintah untuk
membebaskan Irian Barat. Kepada Rakyat juga.
Satu:
gagalkan Negara Papua.
Dua:
pancangkan Sang Merah Putih di Irian Barat.
Tiga:
mobilisasi umum akan kita laksanakan.
Pokok,
pokok, pokok arti daripada Trikomando ialah, bahwa kita harus membebaskan Irian
Barat, bahwa kita harus menduduki Irian Barat, bahwa kita harus memancangkan
Sang Merah Putih, Sang Dwiwarna di Irian Barat. Itu adalah pokok arti daripada
Trikomando Rakyat. Di dalam Trikomando ini, coba bacakan, tidak kuberitahu jalannya
apa. Tidak kukatakan harus Trikomando TNI, atau membebaskan Irian Barat ini, harus
dengan perundingan. Tidak! Atau tidak pula tertulis disitu harus kita gempur dengan
Angkatan Bersenjata. Tidak. Tidak. Cuma sekadar aku perintahkan: gagalkan "Negara
Papua", kibarkan bendera Sang Merah Putih di Irian Barat. Pokoknya dua
ini, tiga yaitu dengan mobilisasi umum dan lain-lain sebagainya, asal Irian
Barat dalam tahun ini juga menjadi satu bagian kekuasaan defacto daripada
Republik Indonesia. Jalannya macam-macam. Oleh karena itu Bapak berkata, kita
memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik tahun ini juga dengan
segala jalan. Segala jalan itu apa? Ya segala. Seperti itu tadi, tulisan tadi
bagaimana bunyinya? "Dengan damai atau dengan kekerasan". Itu segala,
Saudara-saudara. Kalau bisa dengan jalan damai, ya dengan jalan damai, kalau
harus dengan kekerasan, ya harus dengan kekerasan pula. Segala jalan, kataku,
harus kita jalankan. Kalau misalnya mesti, umpamanya saya ketawa-ketawa, dengan misalnya saya de Quay atau Luns, - tahu tidak nama de Quay?
Tahu tidak nama Luns?
Kalau
umpamanya bisa saya masukkan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan republik
dengan, hmmm, ketawa-ketawa dengan de Quay, dengan Luns, akan saya jalankan itu
Saudara-saudara. Kalau kita memasukkan Irian Barat dengan jalan perundingan,
insya Allah itupun harus kita jalankan. Asal tahun '62 Irian Barat masuk ke dalam wilayah kekuasaan Republik. Tetapi
sebaliknyapun kalau harus dengan hantaman senjata, kita tidak dengan tedeng aling-aling
kita berkata: hayo kita gempur pihak Belanda di Irian Barat. Segala hal harus
kita jalankan. Ha, memang sebagai dikatakan oleh Pak Achmadi itu, imperialisme itu
kita tidak beri ampun, Saudara-saudara.
Kita malahan
sudah terlalu lama memberi ampun kepada imperialisme di Irian Barat. Terlalu
lama. Sekarang datanglah saat yang kita dalam tahun ini pula, tidak memberi ampun
kepada imperialisme di Irian Barat. Nah, ini pegang teguh ya! Bung Karno, katakanlah
Bung Karno itu apa, entah Presidenkah, entah Panglima Tinggikah, entah Panglima
Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Baratkah, entah Pemimpin Besar
Revolusikah, entah paling akhir ini dijadikan Panglima Besar Komando Tertinggi
Ekonomi seluruh Indonesiakah, atau ya, sekadar Bung Karno, sebetulnya itu yang
saya paling senang. Titel Bung Karno, penyambung lidah rakyat itu yang paling
kucintai, katakanlah Saudara-saudara, asal masuk Irian Barat didalam tahun 62
ini, dengan politik dan dengan bantuan rakyat, dengan lidah, dengan kekuatan
senjata, asal Irian Baratmasuk
kedalam wilayah kekuasaan Republik dalam tahun ini juga, itu kita menjalani di satu
jalan yang benar. Sebab Saudara-saudara, Saudara tahu bahwa sejak beberapa hari
ini ada pihak ketiga yang mengusulkan satucara memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah
kekuasaan Republik. Satu cara. Yaitu yang sudah diusulkan oleh pihak ketiga yang
kemarin di dalam pidato saya di muka hadirin dan hadirat pada perayaan hari Penerbangan
Nasional sudah saya jelaskan, bahwa kita pada prinsipnya setuju dengan apa yang
diusulkan oleh pihak ketiga ini. Caranya? Caranya, caranya itu bagaimana di dalam
usul pihak
ketiga itu?
Begini: Belanda,
ya, barangkali Belanda itu malu memberikan Irian Barat ini kembali kepada
Indonesia, seperti saya memberi saputangan kepada Pak Harum Sohar ini.
Barangkali malu. Saya tidak perduli, asal pada akhir tahun ini Irian Barat kembali ke dalam
wilayah kekuasaan Republik.
Nah, Belanda
misalnya mau lebih dahulu minta tolong. Misalnya memberikan saputangan ini
kepada Pak Harun Sohar. Sayatidak
keberatan. Boleh. Malahan tadi pagi saya berkata kepada Pak Adam Malik: tidak perduli,
mau dengan jalan PBB supaya tangan PBB dipinjam oleh Belanda, diberikan kepada
Indonesia Irian Barat itu. Tidak perduli PBB bahkan meskipun meminjam tangannya
setan, aku tidak perduli. Ya, meskipun tangannya setan. I do not care. I do not
mind, asal Irian Barat pada tahun'62 ini juga kembali kepada kita, kepada
Indonesia.
Jadi yang
saya terima pada prinsipnya yaitu bahwa, ini usul pihak ketiga, Irian Barat
oleh Belanda harus dikembalikan kepada Indonesia.
Caranya
dengan via PBB, OK. all right; meskipun via apapun, saya all right.
Lha ini
Saudara-saudara, harus dimengerti oleh Saudara- saudara bahwa kita tetap memegang
teguh pada jangka waktu, yaitu '62, dengan via tangan siapa pun tidak perduli, asal pada akhir tahun '62 ini Irian Barat telah kembali kepada
pangkuan Republik Indonesia.
Jelas tidak?
Ada dari pihak kita itu yang berkata: O, tidak setuju 2 tahun. Siapa bilang
saya mau terima dua tahun itu'? Ya, catat wartawan-wartawan! Siapa yang bilang
saya akan mau terima dua tahun itu? Tidak, April, Mei, Juni, Juli, Agustus,
September, Oktober, November, Desember. Sembilan bulan kurang sepuluh hari,
Saudara-saudara!
Jangan kata
saya terima dua tahun! Tidak! Saya sebagai penyambung lidah Rakyat Indonesia
berkata dalam waktu: dalam waktu
sembilan bulan kurang sepuluh hari, Irian Barat sudah harus kembali kedalam
wilayah kekuasaan Republik. Tetapi prinsipnya, caranya ini, saya terima. Dan
ini saya minta dicatat oleh semua Duta besar-duta besar yang ada di sini, bahwa
saya menerima prinsip cara penyerahan sebagai diusulkan oleh ketiga pihak itu.
Prinsipnya yaitu dengan cara itu tadi.
Seperti itu tadi, seperti kita kasih saputangan via ini, via itu, dengan
melalui jalan Pak Bastari ke Pak Harun Sohar. Nah ini, tetap saya berharap agar
supaya Belanda sadar, bahwa tuntutan kita memasukkan Irian Barat kedalam
wilayah kekuasaan Republik dalam tahun ini, bukanlah sedekar tuntutan Sukarno.
Ah tidak! Apakah benar cuma tuntutan Bung Karno saja? Ini tadi, aku sudah
berkata kepada Duta Besar Amerika begini: Look, look for yourself! look for
yourself!
Maksudnya
itu lihatlah sendiri, rakyat yang menghendaki agar supaya Irian Barat itu masuk
ke dalam wilayah kekuasaan Republik, dalam tahun 1962. Bukan Sukarno, bukan
Achmadi, bukan Chaerul Saleh, bukan Zainul Arifin, bukan Suprayogi, bukan
Kadarusman, bukan Pak Yamin yang termenung duduk di sana. Bukan Pak Bastari,
bukan Pak Harun Sohar, tetapi seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai
Merauke, 96 juta rakyat menuntut, menghendaki, bertekad, bersumpah, agar supaya
Irian Barat masuk kedalam wilayah kekuasaan Republik dalam tahun ini juga. Saya
berkata, rakyat dari Sabang sampai Merauke, Rakyat Indonesia yang berdiam di
Irian Barat pula. Tidak kah benar, Rakyat Irian Barat ingin masuk ke dalam
wilayah kekuasaan Republik? Tidak kah benar sudah ada pertempuran di Kotabaru,
Ibukota Irian Barat? Tidak kah benar sudah ada pertempuran di Waigo? Tidak kah
benar, sudah ada pertempuran di Pulau Gag? Tidak kah benar, sudah ada pertempuran
didekat Sorong? Tidak kah benar sudah ada pertempuran di dekat Fak-Fak? Tidak kah
benar, sudah ada pertempuran di dekat Kaimana? Benar! Dan saya berkata: Kalau
"naga-naga"-nya begini Saudara-saudara, "naga-naga"-nya
begini, pihak Belanda mengulur-ulur waktu, pihak Belanda tidak lekas-lekas
memberi kembali Irian Barat kepada kita, supaya dalam tahun ini juga Irian
Barat masuk kedalam wilayah kekuasaan Republik, kalau terus
"naga-naga"-nya begini, seluruh rakyat Indonesia akan berontak di
Irian Barat terhadap imperialisme Belanda.
Yah, oleh
karena itu Saudara-saudara, kita berbesar hati, Insya Allah S.W.T, Irian Barat
masuk ke dalam wilayah kekuasaan kita dalam tahun ini juga. Bukan saja kita,
sebagai sudah kukatakan pada waktu saya berpidato pada Hari Idul Fitri, kita
mendapat berkah, Insya Allah S.W.T dari pada Allah Ta'ala, tapi juga sebagai
tadi dikatakan oleh Pak Achmadi, hmm, simpatinya, bantuan rakyat-rakyat
diseluruh dunia ditemplokan kepada kita. Coba, Belanda itu apa tidak malu! Coba
sampai sekarang masih kirim bala bantuan ke Irian Barat dengan kapal udara.
Sampai, dari Negara Belanda kapal udaranya ke Peru lebih
dahulu, ke Latin Amerika dulu, Amerika Selatan, baru ke Irian Barat. Kok tidak
malu! Sebab apa? Ditolak oleh negara-negara lain: Engkau tidak boleh membawa
bala-bantuan ke Irian Barat melalui lapangan terbang kami.
Negara-negara lain juga menolak: Tidak boleh, tidak boleh; Belanda, Engkau
tidak boleh mendarat di lapangan terbang kami membawa serdadu-serdadu untuk
menggempur Republik Indonesia di Irian Barat.
Sampai Luns
mencari-cari jalan, sampai nelusup-nelusup ke Peru, Saudara- saudara, Lho kok
tidak malu. Kata orang Jawa: "pancen rai gedek"! Kata Palembang juga
"rai gedek".
Kalau aku
menjadi pihak Belanda, aku melihat keadaan dunia simpati kepada Republik
Indonesia ini, ya, sadar, memang sejarah menghendaki demikian, sadar, memang
kami fikak Belanda salah, sadar, memang Republik Indonesia adalah di jalan yang
benar, berdiri diatas tuntutan yang halal, yang benar. Tetapi entah, entah,
entah, Saudara-saudara.
Tetapi
sebaliknya pun kita kepada pihak Belanda itu Saudara-saudara, atau kita kenal
kepada imperialis-imperialis Belanda, yang dulupun sudah berpuluh-puluh tahun
menjalankan politik semacam ini terhadap kita. Tetapi ingat Saudara-saudara,
meskipun kita pada waktu itu tidak mempunyai jetbomber seperti sekarang,
meskipun kita pada waktu itu tidak mempunyai MIG 19 seperti kemarin
Saudara-saudara, - kemarin rakyat di Jakarta, dan orang asing di Jakarta
terperanjat melihat MIG kita diudara seperti kilat, memecahkan sound barrier,
Sound barrier itu batas kecepatan suara. Saking cepatnya kita punya MIG 19 itu.
MIG 19 ini pesawat udara kita, lebih cepat daripada cepatnya suara, maka pada
saat ia memecah ini, Saudara-saudara,
suaranya lebih hebat daripada guntur.
Nah semua
orang terperanjat, sampai ada Ibu-ibu yang kaget nyusup ke belakang, di bawah
kolong.-Nah, meskipun kita dulu tidak mempunyai MIG 19, meskipun dulu kita
tidak mempunyai Ilyushin bomber, meskipun dulu kita tidak mempunyai TU Shobulov
bomber, meskipun dulu kita tidak mempunyai bedil, meskipun tidak mempunyai
senapan meskipun dulu kita tidak mempunyai bom, tidak mempunyai dinamit, tidak
mempunyai segala alat peperangan seperti kita punya sekarang, meskipun dulu kita
tidak mempunyai kapal perusak dari ALRI, meskipun dulu kita tidak mempunyai
MTB-MTB, meskipun dulu kita tidak mempunyai persenjataan lengkap seperti
sekarang ini, toh Saudara-saudara, di dalam revolusi fisik yang 5 tahun, kita
bisa mempertahankan Republik Indonesia sehingga pada tanggal 27 Desember 1949,
Republik diakui oleh pihak Belanda dan oleh dunia internasional.
Meskipun
kita bisa membuat Republik kita ini makin lama makin besar, makin kuat,
meskipun ada pemberontakan, ada gerombolan-gerombolan, toh kita makin lama
makin kuat, makin lama makin kuat. Tanyakan Duta besar-duta besar yang hadir
disini Saudara-saudara, tidakkah benar, bahwa Republik Indonesia ini adalah
satu negara yang sekarang ini bertumbuh kearah kekuatan dan kesentausaan? En
toh, Saudara-saudara, dulu kita ini mempunyai apa, Saudara- saudara? Tidak
mempunyai senapan tidak mempunyai boomer, tidak mempunyai jet-fighters, tidak
mempunyai kapal-kapal perang, tidak mempunyai alat-alat senjata seperti
sekarang ini.
Tetapi sebagai kekuatan, berulang-ulang, sejak dari mulanya kita
mempunyai semangat yang menyala-nyala cinta kepada kemerdekaan: Sekali merdeka
tetap merdeka! Dan semenjak proklamasi berkobar-kobar, bernyala-nyala,
berapi-api di dalam dada kita sampai kepada saat sekarang ini. Dan Insya Allah
SWT sampai seterusnya, Saudara-saudara, saya minta seluruh dunia melihat
semangat Indonesia ini, semangat daripada manusia Indonesia baru sebagai yang
saya maksudkan didalam permulaan pidato saya ini tadi, bahwa kita membangun
satu jenis manusia baru yang fisik dadanya tegap, dan jiwapun tegap,
semangatnya tegap, tekadnya tegap, rakyatnya tegap, tiap tetes darah di dalam
badan kita itu tegap. Tegak berdiri di atas kebenaran, tegak untuk
mendirikan satu masyarakat yang adil dan makmur, tegak untuk mempertahankan dan
menyempurnakan kemerdekaan kita ini. Hendaknya Sang Merah-Putih ini
benar-benar, Saudara-saudara, menjadi lambang daripada kejayaan manusia di dunia
ini.
Lambang
daripada kejayaan insanul kamil di dunia ini. Lambang daripada tekad sesuatu
bangsa yang sekali telah bersumpah: Sekali merdeka, tetap merdeka! Dan
menjalankan sumpahnya itu dengan segala konsekwensinya!
Saudara-saudara,
saya sekarang hendak pergi ke Jembatan Musi untuk mulai pekerjaan membangun Jembatan Musi itu. Sekali lagi saya minta, agar supaya jembatan Musi ini dengan
kerja keras daripada aannemer, dengan bantuan kerja keras daripada seluruh
masyarakat Indonesia, pada tanggal 10 April 1964 bisa dibuka, dan Insya Allah
S.W.T, jikalau diberi oleh Tuhan hendaknya, saya ingin menjadi manusia yang
pertama yang melewati Jembatan Musi pada tanggal 10 April 1964.
Sekian
Saudara-saudara, Assalamu'alaikum ww.
Merdeka!
Sumber: http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar