Biro Naskah Pidato - Pada Tanggal 14 Maret 1963, BAPERKI (Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia) mengadakan Kongres Nasional ke-8 di Gelora Bung Karno. Organisasi yang didirikan pada 13 Maret 1954 di Gedung Sin Ming Hui, Jakarta, ini mengundang Presiden Sukarno sekaligus meminta PJM Presiden untuk memberikan pidato sambutan pembukaan kongres. Berikut Isi Pidato Bung Karno pada pembukaan Kongres Nasional ke-8 BAPERKI di Istana Olahraga Gelora "Bung Karno" 1963.
Pidato Bung Karno
pada pembukaan Kongres Nasional ke-8
BAPERKI
di Istana Olahraga Gelora "Bung
Karno"
pada 14 Maret 1963
"Baperki Supaya Menjadi
Sumbangan Besar Terhadap Revolusi Indonesia"
Saudara-Saudara
dan Anak-Anakku sekalian,
Lebih dahulu saya menyatakan terima-kasih saya serta rasa haru hati saya berhubung dengan dibuatnya dan dinyanyikanaya lagu "Hidup lah Bung Karno" yang beberapa detik yang lalu kita bersama telah mendengar. Terima kasih. Di samping mengucapkan terima kasih itu saya menyatakan kekaguman saya atas kemahiran komponis lagu itu, yang dari Saudara Siauw Giok Tjhan saya mendengar bahwa komponisnya ialah seorang puteri, komponiste, yaitu Saudari Evie Coa.
Terima
kasih.
Saudara-Saudara
sekalian, sekarang saya diminta untuk memberi sambutan amanat sekadarnya kepada
resepsi pembukaan Kongres Baperki yang ke-VIII ini.
Tadi Bapak
Roeslan Abdulgani telah berkata, bahwa beliau bicara sebagai voorrijder dari
saya. Saudara tahu, kalau saya resmi sebagai presiden berkendaraan mobil ke sesuatu
tempat, lantas ada voorrijdernya. Orang-orang yang mendahului perjalanan mobil
saya itu untuk membuka jalan, voorrijder. Malah ada yang lebih lagi mendahului perjalanan
saya, itu bukan voorrijder, tetapi sweeper, penyapu bersih.
Presiden
harus diadakan voorrijder, harus diadakan sweeper. Sering saya berkata, mbok ya
zonder voorrijder, zonder sweeper, tidak perlu pakai sirene mengaung-ngaung.
Tetapi anggota-anggota pemerintah dan semua staf Istana berkata: "Menurut
aturan harus demikian, Pak." Jadi, ya, saya nurut saja. Maunya itu
kadang-kadang saya mau ngluyur sendiri, Saudara-Saudara, tapi tidak boleh!
Selalu harus dengan voorrijder, harus dengan sweeper.
Nah, ini
tadi Pak Roeslan bicara, kata beliau, sebagai voorrijder saya. Pada waktu saya
mendengar pidato Pak Roeslan, saya kok ingat kepada kerbau dan gudel. Tahu
gudel itu apa? Anak kerbau. Anak kerbau itu dalam bahasa Jawa
dinamakan gudel. Anak ayam dinamakan kuthuk.
Anak ikan
bandeng dinamakan nener. Anak kuda dinamakan belo. Dalam bahasa Jawa anak
kerbau dinamakan gudel. Ada peribahasa Jawa "kebo nyusu gudel",
kerbau menyusu kepada anaknya sendiri. Kerbau menyusu kepada gudel, kepada
anaknya sendiri.
Pak Roeslan
itu dulu murid bapak, murid saya. Terutama sekali di dalam ilmu politik. Waktu
belakangan ini, beberapa tahun belakangan ini tiap kali saya mendengar Cak
Roeslan Abdulgani berpidato, saya mendapat perasaan, wah ini, gudelnya ini
bukan main! Gudel ini ngalahkan kebo! Tapi saya senang dan bergembira atas hal
yang demikian itu, moga-moga malahan Cak Roeslan dari gudel Menjadi lah banteng
yang sehebat-hebatnya! Dan juga pemuda-pemuda, pemudi-pemudi yang
duduk di situ supaya semuanya menjadi banteng-banteng Indonesia!
Saudara-Saudara,
Baperki sekarang mengadakan pembukaan kongresnya yang ke-VIII, masuk tahun yang
ke-X, kata Cak Siauw. Dengan lentong Jawa Timur Cak Siauw tadi berkata, Baperki
sekarang masuk usia yang ke-X. Jawa Timur-nya Cak Siauw, "Demokrasi
Terpempin". Malah mengeluarkan perkataan tiap- tiap kali yang dimaksudkan
itu alasan, beliau berkata "Alesan." .....
Oo, itu
dapat dari mana itu, perkataan "alesan"?!
Saudara-Saudara,
Baperki sekarang mengadakan kongres yang ke-VIII, saya diundang datang di sini.
Jauh-jauh sebelum ada kongres ini, dan pada waktu pertama kali ditanya kepada
saya: "Sudi apa kah kiranya PJM Presiden datang di kongres Baperki?"
-saya menjawab, mau. Insya Allah, mau. Apa sebab? Sebabnya ya, Baperki itu satu
yperkumpulan yang baik. Baperki tegas berdiri di atas Pancasila. Baperki tegas
membantu terlaksananya Amanat Penderitaan Rakyat. Baperki tegas berdiri di atas
Manipol-Usdek
dan lain-lain sebagainya. Baperki adalah salah satu dari Revolusi Indonesia.
Oleh karena
itu saya datang.
Ya, kita
sekalian ini sebenarnya, Saudara-Saudara, untuk menyelesaikan Revolusi. Kalau,
baik Nyonya Lie maupun Cak Siauw berkata: "Bung Karno yang tercinta",
saya mengerti itu sebenarnya bukan tercinta kepada persoon saya, meski pun hal
ini ada ceritanya ini.
Tetapi
tercinta, cinta kepada Revolusi Indonesia, yang saya ini oleh MPRS dijadikan
Pemimpin Besar Revolusi. Dan saya pernah berkata, saya tidak menganggap diri
saya menjadi pemimpin. Saya tidak lah mengangkat diri saya menjadi Pemimpin
Besar Revolusi. Tidak!
Di dalam
salah satu pidato saya berkata, bahwa pemimpin itu, pemimpin yang pemimpin,
bukan karena angkatan sendiri, tidak. Tetapi dia itu adalah perasan --wartawan,
perasan!
Dulu ada
wartawan yang menulis perasaan, bukan, perasan, diperas..nah keluar. Satu
rakyat berjoang, dalam perjoangan itu seperti memeras. Nah, keluar lah
pemimpinnya.
Pemimpin
yang benar pemimpin adalah perasan dari perjoangan.
Saya,
Saudara-Saudara, dinamakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pemimpin Besar
Revolusi. Saya, barangkali saya ini adalah salah satu perasan dari Revolusi
itu.
Maka oleh
karena itu manakala Cak Siauw atau Nyonya Lie mengucapkan kata tercinta kepada
saya, saya kembalikan itu kepada Revolusi. Yang dicintai itu adalah Revolusi
Indonesia. Yang dicintai itu adalah perjoangan untuk
menyelesaikan Revolusi Indonesia.
Nah, Baperki
itu demikian. Berulang-ulang Baperki berkata, aktif menyelesaikan Revolusi
Indonesia, tetap berdiri di atas segala hal yang mengenai Revolusi Indonesia,
tetap berdiri di atas Pancasila, tetap berdiri di atas segala unsur-unsur untuk
menyelesaikan Amanat Penderitaan Rakyat.
Oleh karena
itu saya dengan gembira dan senang hati datang di kongres-resepsi
Baperki ini.
Saudara-saudara,
saya ini diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang
Dasar 1945. Undang-undang Dasar 1945 itu begini, Saudara-saudara.
Pada 17
Agustus 1945 dibacakan Proklamasi di Pegangsaan Timur yang sekarang berdiri di
sana Gedung Pola. Maka di muka Gedung Pola itu ada
tugu, tugu itu ditaruh persis di tempat yang dulu saya injak membacakan Proklamasi
itu. Jadi kalau Saudara-Saudara ingin mengetahui tempat yang saya membacakan
Proklamasi 17 Agustus 1945, tugu Pegangsaan Timur 56 itu lah tempatnya.
Di atas tugu
itu diadakan gambarnya petir, gambar bledek, oleh karena di tempat itu dulu
dibacakan naskah proklamasi. Dan naskah proklamasi itu memang boleh dikatakan
petir, geledek, yang didengarkan oleh 5 benua dan 7 samudera!
Tempo hari
saya pernah pidato, nama Indonesia itu terkenal dan termasyhur, pertama kali
pada tahun 1883, tatkala gunung Krakatau, tatkala gunung Indonesia lah pertama
kali mengorbitkan batu dan pasir Indonesia ke angkasa. Krakatau meledak, batu
dan pasirnya disemburkan ke atas oleh Krakatau itu masuk ke dalam orbit
mengelilingi dunia bertahun-tahun, sehingga tiap-tiap musim waktu senja, sore,
langit di Amerika, langit di Eropa kelihatan warna dari pengorbitan batu-batu
dan pasir-pasir Indonesia itu. Pada 1883 pertama kali Indonesia mengagumkan
dunia.
Kemudian di
dalam pidato, yaitu pidato Front Nasional 13 Februari yang lalu saya berkata,
ke dua kalinya nama Indonesia termasyhur, yaitu 17 Agustus l945. Nah,
Saudara-Saudara, saya menghendaki agar supaya nama
Indonesia itu sering menjadisebutan
orang di dunia ini. Bukan karena perbuatan-perbuatan
Indonesia yang jelek, tidak,
tetapi hendaknya karena perbuatan-perbuatan
bangsa Indonesia, rakyat Indonesia sebagai
mercusuar, kataku, dari umat manusia di dunia ini.
Saudara-Saudara,
di dalam keadaan yang demikian itu lah
kita sekarang ini berada, kita telah dapat
memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah
kekuasaan Republik, akan nantiterlaksana
pada tanggal 1 Mei yang akan datang, tinggal
puluhan hari lagi. Itu pun sepertisatu ledakan
dari gunung Krakatau, dilihat dan disaksikan oleh seluruh dunia. Kita telah
dapat menyelesaikan soal keamanan dalam garis besarnya.
Tinggal satu
yang belum, yaitu program ketiga dari Triprogram Pemerintah, Sandang-pangan.
Dan di sini kita sekalian harus mencurahkan kita punya tenaga agar supaya soal
sandang-pangan ini lekas bisa terpecahkan.
Dan tadi Pak
Roeslan, Cak Roeslan, telah menggambarkan pada Saudara-Saudara, tekad daripada
Pemerintah Republik Indonesia, bahwa Republik Indonesia, Pemerintahnya tetap
memegang teguh kepada Triprogram ini. Tetap hendak
menyelesaikan Triprogram ini. Tetap dus akan menyelesaikan program ke tiga dari
Triprogram yang berbunyi sandang-pangan Bukan meninggalkan Triprogram ini,
tetapi tetap berpegang teguh kepada Triprogram ini sambil mengintegrasikan
segenap tenaga rakyat, apa yang dimaksudkan oleh Panca Program Front Nasional.
Nah ini,
maka oleh karena Baperki dengan tegas menyokong, bukan saya menyokong, bahkan
ikut serta, ingin ikut serta, ingin dibawa ikut serta di dalam pelaksanaan
Panca Program Front Nasional itu, maka saya merasa amat sekali
berbahagia dan memberi restu saya kepada Baperki.
Saya tadi
berkata, saya berpidato di sini bukan saya sebagai Bung Karno yang tercinta,
tetapi sebagai Presiden Republik Indonesia, Presiden dari Republik Indonesia,
yang di dalam Undang-Undang Dasar 45 --saya tadi belum
ceritakan, dibacakan Proklamasi tanggal 17 Agustus 45, keesokan harinya, 18
Agustus 45, diterima lah dengan resmi oleh Musyawarah Pemimpin-Pemimpin, UUD
45. Jadi UUD 45 itu sebetulnya resmi lahirnya pada tanggal 18 Agustus 1945.
Nah, Di dalam UUD 45 ini ada ditullis satu hal. Dan hanya sekali itu disebut,
Saudara-Saudara, perkataan "asli", yaitu bahwa Presiden Republik
Indonesia harus seorang Indonesia asli. Dituliskan di dalam UUD 45, Presiden
harus orang Indonesia asli. Saya orang Indonesia asli.. Garis tiga di bawah
perkataan "dianggap" itu. Nah, taruh garis tiga di bawah perkataan
"dianggap". Dianggap, strip, strip, strip, "drie strepen onder
dat woord" 'dianggap' orang Indonesia asli.
Saya sendiri
menanya diri saya kadang-kadang. He Sukarno, apa kowe iki bener-bener asli? Ya,
engkau itu dianggap asli Indonesia.Tetapi
apakah saya betul-betul asli itu?
Mboten
sumerep (tidak tahu -red.). Saya tidak tahu, Saudara-Saudara. Coba lah, siapa
bisa menunjukkan asli atau tidak asli dari darahnya itu. Saya ini tidak tahu,
Saudara-Saudara, dianggap asli. Tetapi mungkin saya itu juga 10%, 5%, 2%, ada
darah Tionghoa di dalam badan saya ini!
Kalau
melihat sifat saya, Saudara-Saudara, saya ini sedikit-sedikit rupa Tionghoa.
Nah, terang-terangan, saya ini kan rupanya saya sudah kelibatan sedikit
Tionghoa! Lain dengan Cak Roeslan, sedikit Keling dia itu! Jadi siapa bisa
menyebutkan dirinya asli atau tidak, itu sebetulnya, Saudara-Saudara.
Kalau
melihat jaman dekat saya, Saudara-Saudara, jaman dekat, saya ini adalah anak
hasil perkawinan dari orang suku Jawa dengan orang suku Bali. Ibu saya itu
orang Bali, bapak saya orang Jawa. Saya sudah belasteran antara Bali dan Jawa.
Belasteran. Ya maklum, Cak Siauw bicara Jawa Timur, saya juga Jawa Timur Jawa
Timuran, arek Suroboyo!
Ibu saya itu
orang Bali. Kata nya orang Bali itu ada darah dari Majapahit. Majapahit itu ada
darah dari Hindu. Bahkan orang Majapahit itu banyak sekali turunan dari Campa,
Saudara-Saudara. Barangkali Saudara-Saudara pernah baca di dalam kitab sejarah,
di Majapahit itu banyak sekali puteri-puteri dari Campa. Putri Cempo, kata
orang Surabaya. Jadi mungkin didalam tubuh
ibu itu sudah mengalir darah Campa. Saya pun katanya dari suku Jawa, tapi bapak
itu siapa tahu, campuran, campuran.
Ayo, aku
tanya kepada Saudara yang duduk di sini dengan dasi yang baik itu. Apa Saudara
bisa mengatakan dengan jelas, darah apa yang mengalir di dalam tubuh Saudara?
Tidak bisa.
Maka itu,
Saudara-Saudara, kalau saya sendiri, lho, sebagai persoon, saya sendiri tidak
tahu asli atau tidak asli itu. Saya sendiri tidak mengadakan perbedaan antara
asli dengan tidak asli. Tidak.
Saya mau
cerita satu rahasia, tatkala saya masih muda, Saudara-Saudara, hampir-hampir
saya ini kawin dengan orang Nio! Saya cuma sebut nama, she-nya tidak saya
sebutkan.
Saya tidak
sebutkan she-nya ya, ada she, lantas Thiam Nio. Hampir-hampir saja. Tapi,
yaitu, pada waktu itu masih berjalan alam kolonial, alam pra-merdeka. Orang tuanya
Thiam Nio --she-nya tidak saya sebutkan-- dia berkata: "Masak kawin sama
orang Jawa!"
Saya
dikatakan orang Jawa. Sepihak dari orang tua saya berkata:
"Masak
kawin sama orang Tionghoa, Peranakan Tionghoa!"
Alam
demikian pada waktu itu, sehingga tidak terjadilah perkawinan antara Sukarno
dengan Thiam Nio itu. He, tapi satu rahasia, lho! Jadi saya, Saudara-Saudara,
saya sendiri tidak berdiri di atas asli atau tidak asli, tidak, tidak, sama
sekali tidak!
Karena itu
maka saya pada tanggal 1 Juni 1945, sebelum kita mengadakan kemerdekaan pada
tanggal 17 Agustus 1945, bahkan pada waktu itu di bawah ancaman bayonet Jepang,
Saudara-Saudara, saya telah ucapkan "Lahirnya
Pancasila", yang tadi diterangkan pada pokok-pokoknya oleh Cak Roeslan
Abdulgani. Lantas Cak Roeslan Abdulgani bertanya kepadamu sekalian, engkau anggota-anggota
Baperki, apa kah betul-betul engkau memegang teguh kepada nasionalisme?!
Memegang teguh kepada Pancasila ?! Sebagai diucapkan beberapa kali.
Jawab
Saudara-Saudara sekalian ialah, ya, kita berpegang teguh kepada Pancasila. Kita
oleh karenanya cinta kepada tanah-air, bangsa Indonesia ini dari Sabang sampai
ke Merauke.
Di dalam
"Lahirnya Pancasila" memang saya terangkan hal yang demikian itu.
Saya citeer Ernest Renan. Kemudian saya koreksi. Ernest Renan adalah terlalu
sempit. Saya koreksi dengan Otto Bauer, yang mengatakan, bahwa "Eine
nation ist eine aus Schickselgemeinschaft erwachsene Karakter gemeinschaft",
sebagai yang diterangkan oleh Cak Roeslan. Ya, tapi Otto Bauer pun saya
koreksi, saya bawa lanjut kepada persatuan dari tanah-air, hubungan antara
manusia dengan buminya.
Itu tahun
45, Saudara-Saudara. Sekarang bagi saya sendiri, bahkan lebih dari itu. Saya
adalah nasionalis Indonesia. Saya adalah orang Indonesia. Saya adalah pencinta
bangsa dan tanah-air Indonesia ini, bukan hanya oleh karena nasionalisme-ku ada
lah satu jiwa ingin bersatu, Renan, 'le desir d'etre ensemble' yaitu keinginan
untuk bersatu. Ingin kah kita bersatu ini, aku dengan engkau, dengan engkau,
dengan engkau, dengan engkau, dengan engkau, dengan kita sekalian dari Sabang
sampai Merauke? Lebih dari itu, kataku.
Otto Bauer
berkata, bakan sekadar ingin bersatu, bukan sekadar satu jiwa, un ame, artinya
jiwa, tidak. Bukan sekadar itu, tetapi adalah persatuan perangai.
Karaktergeimeinchaft.
Kita mempunyai kepribadian sendiri, karakter, karakter Indonesia.
Ada kah
engkau dari kepribadian ini?!
Ada kah
engkau dari karakter ini? Ada kah karaktermu, karakterku, karaktermu sama?
Lebih dari
itu sekarang, Saudara-Saudara.Di dalam
"Lahirnya Pancasila" sudah saya tambahkan lagi persatuan antara
manusia dengan buminya, yang bumi Indonesia ini oleh Tuhan Yang Maha Esa telah
dikumpulkan menyadi satu antara dua benua dan dua samudra. Ini satu petunjuk.
Dan bukan saya itu, kita dilahirkan di bumi ini, kita hidup di bumi ini, kita
akan mati di bumi ini. Ada kah persatuan antaramu dengan bumi yang disatukan
oleh Tuhan ini dari Sabang sampai ke Merauke? Satu pernyataan pula.
Sekarang aku
tambah lagi, bagiku sendiri bukan sekadar persatuan antaraku dengan bumiku,
dengan Sabangku, dengan Sumateraku, dengan Jawaku, dengan Kalimantanku, dengan
Baliku, dengan Lombokku, dengan Surabayaku, dengan Malukuku, dengan Irian Baratku,
tidak. Bukan sekadar hubunganku, dus hubunganmu, mu, mu, mu, dengan geografi
yang bernama Indonesia. Tidak.
Aku sudah
naik kelas yang lebih tinggi dari itu, naik kelas kepada apa yang saya pernah
ucapkan di sini, di gedung ini, Sport Hall Senayan, bahwa bagiku Indonesia
adalah sudah lebih lagi daripada satu geografi, bahwa bagiku Indonesia sudah
lebih lagi daripada rasa d'etre ensemble, bahwa bagiku Indoesia sudah lebih
daripada satu Karaktergemeinschaft.
Sebab apa,
kataku? Aku berkata secara poetis di dalam pidatokuitu waktu,
kalau aku mencium, Indonesia. Kalau aku berdiri di pinggir pantai selatan dan
aku menutupkan aku punya mata dan aku mendengarkan lautan sana itu berombak,
bergelora membanting di pantai itu, aku mendengarkan Indonesia. Jikalau aku
melihat awan putih berarak di atas gunung Tangkubanprahu, aku melihat awan-awan
Indonesia, yang lain dengan awan-awan di Zwitzerland atau awan-awan di Amerika.
Kalau aku
mendengarkan burung perkutut menyanyi di pepohonan, aku mendengarkan Indonesia.
Kalau melihat sinar matanya anak-anak yang berdiri di pinggir jalan, sinar mata
anak-anak yang berteriakkan "Merdeka Pak, Merdeka, Merdeka", aku
melihat Indonesia.
Bahkan aku
melihat hari depan Indonesia.
Indonesia
bagiku adalah sudah satu totalite it bukan sekadar satu geografi, bukan sekadar
satu desir d'etre ensemble, bukan sekadar satu Gemeinschaft karakter. Nah,
Indonesia sudah satu totaliteit bagiku. Awan, awan Indonesia. Bumi, bumi
Indonesia. Laut, laut Indonesia. Geloranya laut itu, geloranya laut Indonesia.
Suara burung, burung Indonesia.Sinar mata
manusia, sinar mata Indonesia. Segala angin yang berbisik mengelilingiku ini,
angin Indonesia. Dan itu semuanya kucintai.
Nah, aku
bertanya kepada anggota-anggota Baperki, sudah kah Saudara-Saudara sekalian
demikian? Sebab kita ini semuanya sudah seia-sekata mengabdi Revolusi, mengabdi
kepada Amanat Penderitan Rakyat yang harus dilaksanakan berdasarkan atas
Manilpol, berdasarkan atas Usdek dan lain-lain sebagainya.
Persatuan
Bangsa yang saya sebutkan berulang-ulang itu sebenarnya sekadar alat,
Saudara-Saudara. Saya berkata di JAREK.. JAREK itu singkatan dari
"Jalannya Revolusi Kita", yang saya katakan seperti malaikat-, di
dalam JAREK saya sudah berkata, persatuan adalah mutlak, absolut untuk mencapai
tujuan kita. Jikalau kita benar-benar hendak menyelesaikan Revolusi kita, kita
harus bersatu. Jikalau kita hendak benar-benar ingin menjadi mercusuar didalam
hidup manusia di dunia ini, kita-harus. bersatu. Dan di dalam hal persatuan ini
saya berkata, saya menghendaki supaja di dalam persatuan segala unsur bangsa
Indonesia itu disatukan. Suku apa pun, ya suku Sumatera, ya suku Jawa, ya suku
Kalimantan, ya suku Bali, ya suku apa pun, bersatu lah. Agama apa pun yang
dipeluk oleh rakjat Indonesia ini, bersatu lah, dan jangan lah berpecah-belah
di atas perlainan-perlainan agama itu. Asli atau tidak asli, bersatulah.
Persatuan adalah mutlak, Saudara-Saudara.
Nah, maka
oleh karena itu di dalam kita sekarang hendak melanjutkan Revolusi kita ini
berlandaskan Manipol dan Usdek, dalam hal ini saya berkata, persatuan tetap
mutlak, maka saya menghendaki agar supaja seluruh waragnegara, tanpa perbedaan
asli atau tidak asli, tanpa perbedaan agama, tanpa perbedaan suku, semuanya
di-Manipol-kan; semuanya kita mengerjakan Manipol dan Usdek itu!
Sampai
kepada sekolah-sekolah, jangan pun universitas-universitas, kepada sekolah-sekolah
yang sedang melatih kita punya cindil-cindil abang (anak tikus --red.).
Saudara-saudara, harus sudah di-Manipol-kan. Cindil-cindil kita yang duduk di
bangku sekolah, Manipol-kan. Apalagi yang sudah gerang-gerang (besar), tua
bangka seperti kita ini, Manipolkan semuanya! Nah itu lah, Saudara-Saudara,
sebabnya, maka saya di sini punminta kepada
Baperki supaja bekerja keras di lapangan ini. Sekarang ini, sebagai tadi sudah
saya katakan, Triprogram pemerintah itu satu belum terlaksana. Sandang-pangan.
Dan memang
ini adalah satu soal yang sulit, tetapi harus kita atasi. Dan sebagai dikatakan
oleh Cak Roeslan tadi, pemerintah, dan terutama sekali presidennya, perdana
menterinya, Bung Karno-nya telah berketetapan hati untuk terutama sekali
berdiri di atas pengerahan tenaga rakyat.
Oleh karena
itu maka Panca Program Front Nasional yang sudah saya katakan harus
dilaksanakan oleh Front Nasional itu diintegrasikan di dalam usaha kita
melaksanakan Triprogram Pemerintah ini. Baperki saya harap
benar-benar membantu terlaksananya Pancaprogram Front Nasional itu, oleh karena
dengan terlaksananya Panca Program Front Nasional, kita membantu juga
terlaksananya seluruh Triprogram Pemerintah.
Saudara-Saudara,
Revolusi berjalan terus, dan revolusi kita ini sebagai yang sudah saya katakan
bukan revolusi kecil-kecilan, revolusi Pancamuka kataku, bahkan jikalau dipikir
lebih luas, sebetulnya kataku, pada waktu aku
berpidato kemarin-kemarin dulu---apa waktu itu ya, di Istana Negara, seminar
Hukum Nasional—sebetulnya revolusi kita ini bukan lagi Pancamuka, panca itu
lima, bukan cuma lima, jaitu Revolusi Politik Revolusi Nasional, Revolusi
Ekonomi, Revolusi Sosial, Revolusi membentuk Manusia Baru, lima, tidak,
sebenarnya revolusi kita itu ada lebih dari lima muka. Maka boleh dikatakan
Revolusi Saptamuka, sapta itu artinya tujuh. Bisa dinamakan hastamuka, hasta
itu delapan. Boleh dinamakan dasamuka, dasa yaitu sepuluh.
Pendek kata
revolusi kita ini adalah benar dikatakan satu revolusi multikompleks. "Asumming
up of many revolutioes in one generation".Revolusi
Indonesia itu adalah satu "nation building" Indonesia yang
sehebat-hebatnja.
Itu, nation
building Indonesia yang sehebat-hebatnya. Dan didalam hal usaha nation building
itu, segala unsur-unsur darispada nation buiIding harus diilaksanakan. Apa
unsur nation building? Bukan sekadar soal ekonomi bukan sekadar soal politik,
bukan sekadar soal kultur, bukan soal nama, tidak nation building adalah satu
pekerjaan yang multikompleks pula.
Tujuan dari
Revolusi Indonesia adalah nation building In donesia. Nation building bukan didalam
arti yang sempit, sekadar membentuk satu "nation" Indonesia. Tidak
lebih dari itu pula.
Nation
Indonesia yang bahagia, nation Indonesia yang berkepribadian tinggi, nation Indonesia
yang hidup di dalam satu masyarakat adil dan makmur tanpa exploitation de l'homme
par l'homme. Nation building dalam arti yang seluas-luasnya. Nah, ini yang kita
kerjakan sekarang ini, Saudara-Saudara. Oleh karena itu saya berkata, jangan
lah kita-jikalau kita hendak mendirikan nation Indonesia dalam arti yang luas
itu- jangan kita masih berdiri di atas dasar-dasar yang usang, yang tadi di sebutkan
oleh Pak Roeslan Abdulgani.
Sudah pernah
saya terangkan, kekuasaan imperialisme dulu di Indonesia apa?
Negeri
Belanda yang pada waktu itu rakyatnya hanya 6 juta, telah mengalahkan satu bangsa
yang 40 juta. 6 Menjadi 7, 40 menjadi 50. 7 Menjadi 8, 50 menjadi 70. 8 juta menjadi
9 juta, sini menjadi 80 juta. Sekarang di
sana 10 juta, sini 100 juta.
Pada waktu,
imperialisme Belanda mengekang, mengereh, mengalahkan Indonesia, rakjat kecil
mengalahkan Indonesia dengan apa? Saya sudah berkata, baca lah kitab dari Sir John
Seeley. He, mahasiswa-mahasiswi, Sir John Seeley, menulis satu kitab yang ia beri
judul 'The Expansion of England". Dan di situ persis ia terangkan juga,
bangsa Inggris di India itu berapa orang? Hanya 40 ribu orang Inggris di India
bisa mengalahkan saturakyat yang
230 juta orang. 40 ribu mengalahkan 230 juta orang, dengan apa? Dengan alat-alat
terutama sekali memecah-belah bangsa India itu, divide and rule, divide et impera.
Persis di
sini pun terjadi demikian. Di sini pun berjalan pemecah-belahan. Di sini pun berjalan
divide and rule. Oleh karena itu pernah saya beberkan segala usaha dari imperialisme
ini dengan berkata, kekuasaan imperialisme itu ada dua macam. Dalam bahasa
asingnya machtsfactor. Macht yaitu kekuasaan. Factor kekuasaan imperialisme itu
dua macam. Ada yang riil, ada yang abstrak. Ada yang bisa dilihat, bisa diraba,
ada yang tak bisa dilihat, tidak bisa diraba. Yang riil yaitu machtsfactor, power
factor yang riil.
Apa itu?
Angkatan perangnya, polisinya, penjara-penjaranya, bedil-bedilnya, meriam-meriamnya,
itu ada lah power factor, machtsfactor yang riil.Tapi ini
tidak besar, Saudara-Saudara; lebih besar daripada machtsfactor yang riil ini adalah
machtsfactor yang abstrak, yang tidak bisa dilihat, yang tidak bisa diraba. Dan
machtsfactor yang abstrak ini apa kah, Saudara-Saudara? Terutama sekali ialah
divide and rule policy, pemecah-belahan suku dihasut benci kepada suku yang
lain. Tidak ada persatuan, tidak boleh ada persatuan antara suku-suku
Indonesia. Dan tidak boleh ada persatuan antara mayoritas dan minoritas.
Dipisah-pisahkan
majoritas dari minoritas. Malahan dibentuk minoritas yang benci kepada mayoritas
dan dibuat majoritas ini benci kepada minoritas.
Kalau
Saudara ingin mengetahui terjadinya minoritas, yang dinamakan minoritas Peranakan
Tionghoa, minoritas Tionghoa di Indonesia ini, pemuda-pemuda, baca lah kitabnya
Prof de Haan. Prof de Haan menulis kitab tebal, tiga jilid, titelnya yaitu
"Priangan", ditulis oleh Prof de Haan. Dan di situ Prof de Haan
menerangkan, bahwa pihak Belanda dari jaman Jan Pietersz Zoon Coen membentuk
satu minoritas untuk kepentingan mereka itu. Satu minoritas yang terdiri dari
orang-orang Tionghoa dan Peranakan Tionghoa.
Dengan
sengaja dipisahkan dari mayoritas. Dengan sengaja dipergunakan untuk
kepentingan pibak Belanda sendiri. Dan ini merembes terus-menerus sampai jaman
yang akhir-akhir ini, rasa tidak senang antaraminoritas
dan majoritas, majoritas terhadap minoritas. Sampai-sampai yang Thiam Nio itu
tadi tak bisa kawin dengan Bung Karno!
Ya, dari
pihaknya tidak mau, tidak boleh kawin sama orang Jawa, dari pihak saya pun
tidak boleh kawin dengan Peranakan Tionghoa.
Saudara-Saudara,
bagaimana pun juga ini adalah akibat dari kolonialisme, akibat dari
imperialisme. Maka oleh karena itu, Saudara-Saudara, kita didalaml Republik Indonesia,
di dalam alam baru ini kita harus sama sekali tinggalkan dasar yang salah ini.
Kita membentuk nation Indonesia yang baru, yaitu sebetulnya pun kelima dari
Pancamuka Revolusi Indonesia ini. Dan di dalam hal ini Beperki bisa bekerja
keras, bisa memberi sumbangan yang sebesar-besarnya.
Terus terang
saya, Saudara-saudara, saya pernah bicara dengan, bukan saja bicara, saya
pernah berada di beberapa negara sosialis. Ya di Soviet Uni, ya di Rumania, ya
di Bulgaria, ya di Vietnam Utara, ya di Cekoslowakia, ya di Polandia Malah saya
di negara-negara itu berkata, hhh, Republik Indonesia lebih jauh dari kamu di
sini.
Pernah di
kota Hanoi, ibukota negara Vietnam Utara, saya dengan Pak HO, Paman Ho, Ho Chi
Minh. Datang lah suatu delegasi, Saudara-Saudara, satu delegasi dari satu
golongan minoritas. Dan kelihatan, memang ini tidak sama dengan rakyat Vietnam
yang lain. Ini kelihatannya agak kemelaju-melajuan, potongan badannya, roman
mukanya, pakaiannya dan lain-lainnya kelihatan benar, ini adalah beda dari rakjat
Vietnam Utara yang lain-lain.
Pak Ho, Ho
Chi Minh, Paman Ho dengan bangga berkata kepada saya: "Bung Karno, ini
adalah delegasi dari minoritas, ingin bertemu muka dengan Bung Karno".
Saya berkata kepada delegasi itu, dan kepada Pak Ho saya berkata, sebetulnya di
Indonesia kita tidak mengenal minoritas. Dan saya tidak mau mengenal minoritas
di lndonesia. Di Indonesia kita hanya mengenal suku-suku.
Saya tidak
akan barkata, suku itu adalah minoritas, suku itu adalah minoritas, suku itu
adalah minoritas, suku Dajak adalah minoritas, suku Irian Barat adalah
minoritas, suku yang di Sumatera Selatan itu -suku Kubu-adalah minoritas, suku
Tionghoa adalah minoritas, tidak! Tidak ada minoritas, hanya ada suku-suku,
sebab manakala ada minoritas, ada mayoritas. Dan biasanya kalau ada majoritas,
dia lantas exploitation de laminorite par
la majorite, exploitatie dari minoriteit majoriteit.
Saya, tidak
mau apa yang dinamakan golongan Tionghoa, Peranakan Tionghoa itu
di-exploitation oleh golongan yang terbesar dari rakyat Indonesia ini, tidak!
Tidak! Engkau adalah bangsa Indonesia, engkau adalah bangsa Indonesia, engkau
adalah bangsa Indonesia, kita semuanya adalah bangsa lndonesia.
Itu, yang
duduk di sana, jenggot ganteng ubel-ubel itu .... Bung dari mana, Bung? Dari
Medan? Dari mana? Coba sini! Siapa namanya? Jawabnya, Amar Singh, katanya.
Anggota
Baperki. Warga Indonesia. Haa, Indonesia! For me you are not a minority, you
are just an Indonesian. Haa, ini orang Indonesia, Saudara-saudara, bukan
minoriteit!
Saya kata
Sama Paman Ho, di Indonesia itu paling-paling ada suku-suku. Suku itu apa
artinya? Suku itu artinya sikil, kaki. Ja, suku artinya kaki. Jadi bangsa
Indoaesia itu banyak kakinya, seperti luwing, Saudara-Saudara. Ada kaki Jawa,
kaki Sumatera, kaki Dayak, kaki Bali, kaki Sumba, kaki Peranakan Tionghoa, kaki
Peranakan. Kaki dari satu
tubuh, tubuh
bangsa Indonesia.
Nah, Pak Ho,
kataku, demikian lah Indonesia. "Ja, that is better", kata Pak Ho. Ya
memang, itu lebih baik, Saudara-Saudara, karena itu aku tadi berkata, ya kami
baagga, Indonesia lebih, lebih dari di negara-negara sosialis atau
negara-negara yang kita kenal sebagai sosialis. Tetapi, Saudara-Saudara, segala
hal itu sebagai saya katakan di dalam pidato Front Nasional, adalah satu
perjoangan. Jangan mengharap segala sesuatu itu beres,
datang dari langit seperti embun di waktu malam, tidak! Perjoangan! Jikalau
umpamanja Saudara-Saudara atau rakyat Indonesia semuanya ingin supaya di dalam
UUD 45, UUD kita sekarang ini jangan lah ditulis "Presiden Republik
Indonesia harus orang Indonesia asli", berjoang lah agar supaya hilang
perkataan ini! Rakyat Indonesia berjoang bersama-sama supaya perkataan
"asli" dari UUD 45 ini dicoret sama sekali.
Begitu pula
kalau saudara-saudara menghendaki sekarang ini hilangnya perasaan tidak enak
dari mayoritas atau minoritas, kalau Saudara merasakan dirinya minoritas, itu pun
memerlukan perjoangan. Perjoangan agar supaya hilang rasa tidak senang kepada
minoritas. Sebaliknya pun minoritas saya minta berjoang, berjoang, sekali lagi
berjoang, agar supaya tidak ada rasa kebencian dari minoritas kepada majoritas.
Terus terang
saja, Saudara-Saudara, saya pernah di dalam Gedung Senat Washington, Capitol
Washington, saya pernah menggugat, apa kah benar Amerika itu berdiri di atas
demokrasi. "Yes", kata orang-orang yang adadi situ,
senator-senator, Saudara-Saudara, orang-orang biasa. "Amerika berdiri di
atas dasar demokrasi. Yes."
Amerika
menulis di dalam "Declaration of Independence"-nya, yang ditulis oleh
Thomas Jefferson dalam 1776, bahwa semua manusia itu dilahirkan sama.
"That all men are created equal". Benar kah begitu?! "Yes. This
is written in our Declaration of Independence, that all men are created
equal." Sama. Tidak ada perbedaan antara manusia dengan manusia. Bahwa
manusia itu karena samanya, tiap tiap manusia mempunyai hak untuk life,
liberty, the pursuit of happiness. Demikian lah tertulis di dalam
"Declaration of Independence" Amerika. Bahwa manusia created equal,
bahwa manusia semuanya itu mempunyai hak, hak yang primordial, hak yang terbawa
dari sebelum ia lahir di dunia ini, sudah membawa hak tiga: life, liberty,
kemerdekaan; the pursuit of happiness, mencari, mengejar kebahagiaan.
Manusia
tidak dilahirkan untuk tidak "life", manusia tidak dilahirkan di
dunia ini untuk "tidak hidup". Manusia tidak dilahirkan untuk tidak
"liberty", untuk tidak "merdeka".
Manusia
tidak dilahirkan di dunia ini untuk dari kecilnya sudah membawa rantai di
kakinya, tidak bisa bergerak ke mana-mana oleh karena ia orang tidak merdeka.
Manusia tidak dilahirkan di dunia ini untuk tidak boleh pursuit of happiness,
mengejar kebahagiaan. Is it true, in your declaration of independence is
written, life, liberty and the pursuit of happiness? "Yes, it is
true", kata senator-senator itu. Jadi diakui.
Ada
pertanyaan; bahwa all men are created equal, manusia dilahirkan sama, that all
men boleh mengejar life, liberty, and the pursuit of happiness. Boleh, semuanya
sama. Waktu itu, perdebatan antara saya dengan senator-senator itu mengenai Irian
Barat, Saudara-Saudara, sebab salah satu senator itu kulitnya agak hitam,
memang dia adalah kulitnya agak hitam,
dia membantah, kenapa kok Indonesia mau mengklaim Irian Barat? Sebab orang
Irian Barat itu kulitnya hitam, lain ras dari Indonesia
yang
kebanyakan, kata senator itu.
Saya
berkata, ha, Amerika mengatakan all men are created equal. Amerika mengatakan
that all men boleh mengejar life, liberty, and the pursuit ofhappiness.
Kenapa kok mengadalkan pernyataan demikian, kataku. Apa kah bangsa itu terdiri
dari satu warna kulit? Sebaliknya kubertanya kepadamu, kenapa di Amerika masih
ada segregation? Segregation yaitu orang Negro di beberapa tempat masih
dianggap sobagai orang jang inferior. Restoran, only for white men, orang hitam
tidak boleh masukrestoran.
Movie, only for white men, tidak boleh orang bitam masuk di dalam movie itu.
Autobus ditulis, only for white men. Tidak boleh orang Negro naik di autobus
itu.
Saya berkata
demikian. Jawabnya bagaimana?
Jawabnya
ialah, ya, segala hal itu harus kami perjoangkan. Itu kan undang-undang yang
mengatakan, bahwa all men are created equal. Di dalam "Declaration of
Independence" itu dia punya mukaddimah dari pernyataan kemerdekaan ialah
ditulis, tulis zwart op wit, tetapitoh kertas, Saudara-Saudara,
that all men are created equal. Di atas kertas ditulis, bahwa tiap-tiap manusia
itu mempunyai hak atas life, 1iberty, and the pursuit of happiness, di atas
kertas, but in the reality of life masih harus diperjoangkan. Segala itu adalah
hasil dari perjoangan. Dan senator itu berkata: "Ya, kami senator-senator
--kami yang duduk di sini ini kamimemperjoangkan
agar supaya di Amerika ini, tidak ada segregation. Kami memperjoangkan
agar supaja orang Amerika semuanya suka menerima warganegara Amerika yang berkulit
hitam sebagai warga negara yang full dan sejati." Saya berkata, I can
appreciate it. Saya bisa mengerti ini dan saya bisa appreciate ini.
Sebaliknya
pun aku berkata kepada bangsa Indonesia tempo hari, tatkala aku mengadakan
pidato Front Nasional, jangan lupa segala sesuatu itu adalah perjoangan, harus
kita perjoangkan, perjoangkan. Aku berkata, Panca Program itu bagiku pun satu
perjoangan, saya harus mengerahkan segenap rakyat, mengerahkan segenap rakyat,
mengerahkan segenap menteri, mengerahkan segenap pegawai, mengerahkan segenap
petugas Republik Indonesia ini untuk menjalankan, melaksanakan Panca Program
dari Front Nasional. Mengerahkan perjoangan!
Karena itu,
Saudara-Saudara, saya berkata jikalau rakyat Indonesia menghendaki supaya di
dalam UUD-nya jangan ditulis "asli- aslian" sebagai Presiden,
perjoangkan hal ini, kerahkan lah segenap tenaga, agar supaya hilang dari UUD
kita. Jika bangsa Indonesia tidak mau mengenal adanya minoritas dan mayoritas,
jikalau bangsa Indonesia memang hanya mengenal satu bangsa Indonesia yang tiada
mayoritas dan tiada minoritas, perjoangkan hal ini bersama-sama dengan saya,
bersama-sama dengan pergerakan-pergerakan yang ada di Indonesia ini. Sebab itu
tadi Pak Roeslan berkata, tanpa effort tidak bisa kita mencapai sesuatu hal.
Dus manakala saya di sini, Saudara-Saudara, memeluk Baperki, saya boleh juga
dikatakan, saya mengajak Baperki untuk berjoang bersama-sama dengan saya,
bersama-sama dengan seluruh rakyat Indonesia agar supayaAmanat
Penderitaan Rakyat bisa selesai, agar supaya semua cita-cita kita bisa
terlaksana.
Ada
pendirian-pendirian saya pribadi, ada, itu pribadi, Saudara-Saudara. Saja
ulangi lagi, pribadi, mengenai soal asimlilasi misalnya yang tadi Cak Siauw
berkata, mbok ya jangan diutik-utik soal asimilasi. Ya, saya, tidakmau
ngutik-ngutik, sebab Cak Siauw, wah itu bisa juga cuma menyimpangkan perhatian
saja. Ya, Bung Siauw, saya tidak akan
mengatik-utik.
Tapi
perasaan pribadi saya, saya ini tidak kenal Saudara-Saudara, akan perbedaan
darah itu, tidak. Nama pun, nama saya sendiri itu Sukarno, apa itu nama
Indonesia asli? Tidak. Itu asalnya Sanskrit, Saudara-Saudara. Sukarna. Nah, itu
Abulgani, Arab. Ya, Cak Roeslan namanya asal Arab, Abdulgani. Nama saya asal
Sanskrit, Sukarna. Pak Ali itu campuran, Ali-nya Arab, Sastraamijaja itu
Sanskrit, campuran dia itu.
Nah karena
itu; Saudara-Saudara pun --ini perasaan saya persoonlijk, persoonlijk,
pribadi-- what is in a name? Walau saudara misalnya mau menjadi orang
Indonesia, tidak perlu ganti nama. Mau tetap nama Thiam Nio, boleh, boleh saja.
Saya sendiri juga nama Sanskrit, Saudara-Saudara. Cak Roeslan namanya nama
Arab, Pak Ali namanya campuran, Arab dan Sanskrit. Buat apa saya mesti
menuntut, yang orang Peranakan Tionghoa yang mau menjadi anggota negara
Republik Indonesia, mau menjadi orang Indonesia,
mau ubah namanya, ini sudah bagus kok .. .... Thiam Nio kok mesti dijadikan
Sulastri atau Sukartini. Yah, tidak?
Tidak. Itu
urusan prive. Agama pun prive, saya tidak campur-campur.
Yang saya
minta yaitu, supaja benar-benar kita menjadi orang Indonesia, benar-benar kita
menjadi warganegara Republik Indonesia. Bahkan sebagai kukatakan tadi mbok ya
seperti saya ini, kalau boleh saya pakai contoh, bukan sekadar Renand, bukan
sekadar Otto Bauer, bukan sekadar geografi, kataku, lebih dari ini, lebih dari
ini, lebih dari geografi. Indonesia bagiku adalah satu totalitas, ya burungnya,
ya udaranya, ya suaranya, ya gelora lautnya, segala-galanya ialah Indonesia,
Indonesia, Indonesia, dan untukmu aku hidup di sini, kecuali di samping untuk
Allah SWT.
Saudara-Saudara,
kalau tidak salah, duduk di muka saya ini penari ulung, apa betul? Dari
Bandung? Apa betul dari Bandung? Dia itu, siapa namanya, lupa lagi saya. Tan
Tian Ie, nah sini Nak, sini. Ini Tan Tian Ie misalnya kalau menari,
Saudara-Saudara, menari tari-tarian Sunda .. .... hh, banyak wanita-wanita
Sunda itu kalah sama dia. Dan dia betul-betul merasa Indonesia,
sampai yaitu, segala tari-tarian yang lemah-lembut dia bisa tarikan.
Apa pernah
saja berkata kepadamu, Tan Tian Ie, kau mesti ubah namamu?!
Tidak. Tetap
lah engkau bernama Tan Tian Ie. Ini pendirian saya pensoonlijk, pribadi,
Saudara-Saudara. Baik saya mencurahkan rasa hatiku terhadap kepada Saudara-Saudara
agar supaya Saudara-Saudara yang berkata
kepadaku, Bung Karno yang tercinta, mengetahui betul-betul. Bung Karno ini apa!
Bung Karno
ini kecuali ini, daging, darah, tulang ialah rupa begini, isi hatinya ialah
demikian. Dan saya harap agar supaya Baperki dalam menjalankan tugasnya sebagai Baperki
sebagai tadi sudah saya harapkan,berperasaan
sama-sama dengan Bung Karno yang dikatakan dicintai oleh Saudara-saudara itu.
Demikian lah, Saudara-Saudara, moga-moga kongres Baperki yang ke-VIII sukses,
moga-moga Baperki seLalu maju pesat, moga-moga Baperki benar-benar menjadi
sumbangan yang besar terhadap
Revolusi Indonesia.
Sekian.
Terima kasih.
Sumber: kepustakaan-presiden.pnri.go.id