Biro Naskah Pidato - Berikut
ini transkrip pidato sambutan Presiden Republik Indonesia saat
bersilaturahmi dengan peserta Lemhanas Tahun 2013 di Istana Negara.
Acara silaturahmi ini diselenggarakan pada 1 November 2013.
TRANSKRIP
SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SILATURAHMI DENGAN PESERTA LEMHANNAS TAHUN 2013
ISTANA NEGARA, JAKARTA
1 NOVEMBER 2013
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Salam sejahtera untuk kita semua,
Yang saya hormati para Menteri, Panglima TNI, Kapolri, dan para Kepala Staf Angkatan, Kepala Badan Intelijen Negara, dan Staf Khusus Presiden,
Saudara Gubernur Lemhannas beserta para Widyaiswara dan segenap Civitas Academica Lemhannas, khususnya para Peserta Lemhannas, baik yang mengikuti Program Pendidikan Reguler Angkatan XLIX dan Angkatan L maupun yang mengikuti Program Pendidikan Singkat Angkatan XIX,
Alhamdulillah, hari ini, kita kembali melaksanakan tatap muka, pertama, untuk mendengarkan laporan Gubernur Lemhannas tentang penyelenggaraan pendidikan, khususnya PPSA XIX dan PPRA XLIX dan L; kemudian, kita mendengar presentasi dari para peserta yang menjelaskan hasil seminar, yang boleh kita sebut ada tiga agenda utama: satu, berkaitan dengan Pancasila; yang kedua, berkaitan dengan kepemimpinan, kepemimpinan nasional maksud saya; dan yang ketiga, berkaitan dengan pendidikan.
Saudara-saudara,
Saya, pertama-tama, mengucapkan terima kasih kepada Gubernur Lemhannas dan segenap Civitas Academicayang telah menyelenggarakan pendidikan untuk mempersiapkan para peserta didik agar lebih sukses lagi di dalam karier mereka masing-masing, baik yang bekerja di lingkungan lembaga negara, termasuk eksekutif, legislatif, TNI dan Polri maupun yang di luar lembaga negara, apakah di jajaran partai politik, organisasi massa, dunia usaha maupun profesi-profesi yang lain, termasuk saudara-saudara kita, para peserta dari negara-negara sahabat.
Pendidikan ini sangat penting. Setiap kali saya bertemu dengan peserta Lemhannas, maka saya senantiasa mengingatkan bahwa, setelah mengikuti pendidikan di Lemhannas ini, diharapkan Saudara-saudara siap untuk mengemban tugas-tugas yang lebih tinggi, tugas-tugas yang lebih menentukan di masa depan. Saudara diharapkan akan bisa menjadi pemimpin pada tingkat strategis nantinya, strategic leaders. Saudara juga diharapkan mampu untuk mengelola organisasi dalam strata yang lebih tinggi, strategic management. Saudara diharapkan juga bisa melakukan perencanaan yang bersifat strategis, strategic planning. Saudara diharapkan juga memahami persoalan-persoalan nasional maupun persoalan global yang terus berkembang dan amat dinamis. Dengan demikian, kalau Saudara menjadi policy makers suatu saat, decision makers pada saatnya nanti, Saudara bisa melihat keseluruhan isu atau masalah secara utuh. Dengan demikian, solusinya akan benar, keputusannya akan benar. Demikian juga kebijakan dan langkah-langkah konkret yang dilaksanakan, juga akan benar. Itulah sebetulnya tujuan dari pendidikan tingkat strategis yang dilaksanakan di Lemhannas.
Kalau Saudara merasa belum 100% memiliki kemampuan dan kesiapan, sebagaimana yang saya sampaikan tadi, masih ada waktu. Biasanya, menjadi siswa itu 24 jam tidak pernah berhenti, banyak yang masuk, confused, penat, bingung karena banyaknya materi yang mesti dicerna dalam 1x24 jam. It is normal di mana pun. Tetapi setelah selesai mengikuti pendidikan, tolonglah melakukan konsolidasi masing-masing. Ingat kurikulumnya, ingat silabusnya, ingat bahan acaranya, ingat apa yang diujikan oleh lembaga, ingat pesan-pesan para dosen, yang kira-kira relevan dan segera akan Saudara gunakan untuk mengemban tugas di masa mendatang, apakah di lingkungan militer, lingkungan kepolisian, di lingkungan pemerintahan maupun lembaga-lembaga di luar itu.
Itu yang selalu saya ingatkan. Dan tentu, harus berbeda, mereka yang tidak melalui pendidikan Lemhannas dengan mereka, Saudara-saudara, yang terpilih untuk mengikuti pendidikan di Lemhannas Indonesia.
Dengan pengantar itu, saya sekarang ingin merespons apa yang tadi disampaikan oleh Saudara-saudara sebagai hasil seminar yang telah dilakukan. Tentu saja, saya tidak ingin merespons secara teknis, secara rinci, satu demi satu karena tidak memungkinkan dan tidak perlu. Saya yakin semua yang disampaikan kepada saya tadi telah diolah sedemikian rupa, dibahas, didiskusikan, mengundang para pakar, dikaitkan dengan situasi yang berkembang di negara kita, bahkan di dunia, dan akhirnya lahirlah hasil seminar, sebagaimana yang tadi disampaikan kepada saya.
Terus terang, mendengarkan presentasi Saudara tadi, mungkin juga kalau membaca naskah seminarnya, banyak istilah-istilah yang berat, yang belum tentu masyarakat luas langsung bisa memahami istilah-istilah, kerangka atau framework yang diangkat dalam seminar tadi, dan banyak sekali, ya memang harus begitu. Saudara mengupas satu isu secara komprehensif, dikaitkan dengan doktrin, dengan ajaran theoretical, kemudian dirumuskan, lantas sampai kepada apa yang mesti dilakukan di masa depan. Begitu teori dan hukum yang berlaku di dalam dunia pendidikan.
Nah, saya sekarang akan meresponsnya tidak dengan menggunakan istilah-istilah yang berat-berat itu, tapi saya ingin menggunakan bahasa yang sederhana, mencoba membawa isu-isu penting yang Saudara angkat dalam kehidupan nyata, real world, baik di Indonesia, di negeri kita maupun pada tingkat global. Dengan demikian, kita akan bisa memahami secara lebih utuh, kontekstual, dan juga melihat relevansinya dengan apa yang kita hadapi sekarang ini, tahun ini, tahun depan, tahun-tahun mendatang, bahkan pada masa depan yang lebih jauh, sebagaimana tadi disampaikan oleh Saudara, misalkan 2045, 100 tahun setelah negeri tercinta ini merdeka.
Pertama-tama, saya ingin masuk kepada masalah yang berkaitan dengan dasar, falsafah, ideologi negara kita. Tesis yang Saudara bangun, Pancasila kita ini belum sungguh dipahami, dipedomani, dan dijalankan. Oleh karena itu, perlu direvitalisasikan, perlu dimasyarakatkan, dan kemudian dijalankan. Logis penglihatannya seperti itu, dan tadi dijelaskan secara gamblang, satu demi satu, the what, the why, and the how; ada masalah dengan implementasi Pancasila kita, mengapa, dan kemudian bagaimana cara mengatasinya.
Saya hanya ingin mengingatkan, Saudara-saudara. Pancasila itu adalah a living ideology, ideologi yang terbuka, ideologi yang hidup, dan bukanlah sebuah dogma. Pancasila juga sebetulnya falsafah dan dasar negara yang kita pilih dan kita anut sejak Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945. Kalau kita paham makna, arti, dan posisi Pancasila sebagai falsafah, sebagai ideologi, dan sebagai dasar negara seperti itu, maka melihat Pancasila harus kontekstual, utuh, dan kemudian kita kaitkan dengan kehidupan bernegara, kerangka bernegara, kehidupan bernegara yang berangkat dari konstitusi, negara yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan menjalankan pembangunan.
Apakah kehidupan bernegara kita, apakah kehidupan berpemerintahan di negara ini, apakah pembangunan yang kita laksanakan secara umum, secara utuh, itu tidak lagi memedomani dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila? Atau dengan pertanyaan lain, apakah sudah jauh dan demikian berjarak dari Pancasila sebagai living ideology tadi? Itulah critical question yang pertama-tama harus dijawab sebelum kita masuk ke sisi yang lebih mikro, ke detail, ke gambar-gambar yang lebih kecil.
Kalau Saudara baca kembali pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, kemudian mengikuti diskursus para pendiri republik para founding fathers, pada bulan-bulan Juni-Juli-Agustus 1945, sebelum kita merdeka, dan kemudian mengikuti bagaimana Pancasila hidup, berkembang, dan dipedomani oleh bangsa ini pada periode setelah kemerdekaan, pada era pemerintahan Bung Karno, era pemerintahan Pak Harto, dan era pemerintahan pada era reformasi ini, maka Saudara akan dengan cerdas, tajam, dan tepat melihat Pancasila kita ini.
Kehidupan sebuah bangsa akan terus berubah, berkembang, dan penuh dengan dinamika, penuh pula dengan pasang dan surut, ups and downs, bahkan kadang-kadang setback, sebagaimana yang dialami oleh bangsa Indonesia.
Pada tingkat dunia, kehidupan bangsa-bangsa sejagat itu juga penuh dengan perubahan, dinamika, uncertainty, sebagaimana yang kerap terjadi sekarang ini. Sebutlah kalau kita ambil tonggak yang paling mudah diingat, setelah Perang Dunia II berakhir, terjadi era dekolonisasi, Perang Dingin, kemudian Tembok Berlin runtuh, menandai era baru. Ada gerakan demokratisasi gelombang ketiga, kemudian ada tonggak sejarah lagi, serangan terorisme pada tahun 2001, berkembang lagi krisis global yang memastikan arsitektur global juga berkembang sekarang ini sehingga dunia makin kompleks, makin penuh ketidakpastian, makin muncul dengan hukum-hukum globalisasinya.
Dalam kehidupan dunia seperti itulah, bangsa kita terus mengelola kehidupan bernegaranya, bangsa kita terus menjalankan pemerintahan untuk kepentingan rakyat kita, dan juga menjalankan pembangunan. Pancasila, sebagaithe living ideology, harus bisa menjawab, bisa berperan, bisa menjadi guidance bagi sebuah bangsa yang membangun dirinya menuju masa depan yang lebih baik di tengah dunia yang terus berubah dengan kondisi yang sama-sama kita rasakan sekarang ini.
Kalau kita bawa ke situ, maka marilah kita jeli, cerdas, dan lebih melihat sila-sila Pancasila dalam menjawab tantangan masa kini: nasional, regional maupun global. Misalnya Indonesia, oleh para founding fathers, diharapkan menjadi sebuah negara berketuhanan, bukan negara agama, tapi negara yang berketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, diharapkan masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius, masyarakat yang pandai mengimplementasikan ajaran-ajaran agama, yang tentu membawa manfaat dan kebaikan bagi masyarakat Indonesia, agama apa pun yang dianut oleh saudara-saudara kita di negeri ini. Mari kita lihat langsung.
Yang kedua, Pancasila kita juga mengutamakan kemanusiaan, humanity. Apakah kita cukup berbuat untuk kemanusiaan di negeri kita ini, yang adil, yang beradab, dan juga bagi kemanusiaan negara-negara sedunia?Humanity. Apakah kita masih dalam kebijakan kita, dalam implementasi kebijakan itu, dalam kehidupan kita yang lebih utuh?
Indonesia adalah negara yang majemuk. Kemajemukan itu, di satu sisi, adalah anugerah, kekayaan. Tapi di sisi lain, tantangan karena akan kaya dengan sumber konflik. Oleh karena itu, sejak awal kita menginginkan persatuan yang kuat, kebangsaan yang kokoh, nationality, nationalism dalam arti yang positif. Masihkah itu ada di negeri kita? Apakah sudah menjauh dari semangat, wawasan, dan rasa kebangsaan kita? Mari kita lihat bersama-sama.
Pancasila sebenarnya juga mengangkat pentingnya demokrasi. Memang di situ diwujudkan atau dituangkan dalam istilah “dikedepankannya musyawarah untuk mufakat”, tapi ruhnya, nilainya sebetulnya adalah demokrasi, kedaulatan rakyat. Oleh karena itulah, kalau Saudara baca debat para founding fathers yang melahirkan konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945, itu banyak yang berpendirian kebangsaan dan persatuan sangat penting, negara yang kuat diperlukan di Indonesia ini, begitu para pendiri republik. Tapi beliau juga mengingatkan, kedaulatan haruslah tetap di tangan rakyat. Berikan ruang untuk demokrasi dan partisipasi publik. Di situ sebetulnya, dan ini klop dengan semangat dari sila keempat dalam Pancasila kita.
Yang kelima: social justice, keadilan sosial. Artinya, banyak pilihan tentang ideologi, paham, sistem, dan mazhab ekonomi. Kita telah memilih sebetulnya. Ekonomi kita haruslah ekonomi yang membawa kesejahteraan rakyat, tetapi sekaligus ekonomi yang tidak jauh dari social justice, keadilan sosial.
Jadi sebenarnya, sepanjang kehidupan bernegara kita ini, termasuk di dalamnya kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, tidak jauh, tidak meninggalkan, dan tetap dijiwai oleh nilai-nilai besar yang ada dalam Pancasila tadi, sebenarnya bangsa ini masih menjadikan Pancasila sebagai dasar, sebagai falsafah, sebagai ideologi, sebagaiway of life, sebagai inspirasi, dan sebagainya. Itulah yang mesti kita lihat. Jangan sampai kita micromanage, melihat yang kecil-kecil, tapi lupa di mana letak Pancasila sebagai the living ideology. Mudah-mudahan yang saya sampaikan ini melengkapi, memperkuat apa yang telah Saudara seminarkan beberapa saat yang lalu.
Saudara-saudara,
Kepemimpinan: ini menarik sekali. Dan saya suka dengan tiga tema besar, Pak Gubernur, satu, Pancasila; yang kedua, leadership; yang ketiga adalah pendidikan, education.
Oke. Kita bisa berbicara tentang isu kepemimpinan. Membicarakan kepemimpinan seperti kita berjalan di rimba raya, bisa melihatnya dari sudut pandang apa saja, terpulang kepada kita. Mungkin kalau seminar, bisa tiga tahun enggak habis itu, enggak selesai-selesai itu. Tetapi harus menyampaikan ke audience ini dalam waktu tujuh menit, tentu tidak mudah. Tapi kita tahu kepemimpinan. Saudara pemimpin, saya pemimpin, yang hadir di sini semua pemimpin. Nah, coba kita pahami kembali apa yang sedang terjadi di negeri ini: di kabupaten, di kota, di provinsi secara nasional, bahkan di Asia Tenggara, di Asia Timur, dan di dunia. Kita bayangkan kembali apa yang tengah terjadi, baik di negeri kita sendiri hingga sekali lagi, di dunia.
Nah, kalau kita membayangkan, kita menelaah, dan kita ingin memahami, sampailah pada kesimpulan: sebenarnya apa sih pentingnya kepemimpinan? Apa peran pemimpin dalam konteks kehidupan seperti ini? What is the rule ofpemimpin? Perannya itu apa sebetulnya? Apakah tanpa pemimpin yang hebat, negara itu tidak jalan? Apakahleadership hanya semata yang menentukan maju-mundurnya sebuah organisasi, provinsi, kabupaten, kota, negara, dunia? Mari kita lihat.
Pasti jawabannya: peran pemimpin sangat penting. Pasti jawabannya: pemimpin akan banyak mengubah kehidupan apa yang dipimpinnya itu atau siapa yang dipimpinnya itu. Pastilah itu. Tapi kalau kita lebih kritis ya, sebenarnya apa sih hakikat peran kepemimpinan itu? Pemimpin dalam negara demokrasi seperti apa? Pemimpin dalam negara yang menganut sistem otoritarian juga seperti apa?
Mari kita cerdas, jernih, dan fokus melihat peran pemimpin ini sehingga apa yang kita bicarakan tentang rekrutmen, tentang evaluasi, tentang kapasitas yang harus dibangun, tentang persyaratan, moral, macam-macam begitu, itu tidak keluar dari konteks apa sih sebetulnya peran dari seorang pemimpin? Apakah satu-satunya yang membuat negeri kita ini berhenti atau jalan? Atau sebetulnya ada sisi lain yang membikin kehidupan di negeri ini terus bergerak, maju ke depan, menuju masa depan yang lebih baik.
Saudara-saudara,
Tentu jawabannya adalah negara mana pun punya konstitusi, negara mana pun dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunannya memiliki sistem. Ada undang-undang, ada regulasi, ada best practises yang dijalankan dari masa ke masa, selalu ada rencana. Itu, siapa pun pemimpinnya, akan ada. Leader comes and goes, tetapi itu akan tetap ada dalam suatu negara.
Jadi, boleh jadi kalau orang yang berpaham, “Kalau begitu, Pak, pemimpin itu tidak sangat mutlak, karena tanpa kepemimpinan pun, sebetulnya semua itu sudah running.” Barangkali ada yang berpendapat seperti itu, tapi I don’t believe it: kalau tanpa pemimpin, tanpa peran pemimpin, segalanya akan berjalan dengan baik. Selalu ada peran, fungsi, dan misi pemimpin, tentang kepemimpinan. Oleh karena itulah, akhirnya Saudara bisa merumuskan.
Pemimpin itu tentu dipersyaratkan memiliki integritas yang baik, kapasitas yang baik, akseptabilitas yang baik, dan kemudian ya siap menjadi pemimpin. Silakan didiskusikan. Itu bisa panjang lebar, itu bisa ada laundry list, 1, 2, 3 sampai 20, bisa dikembangkan seperti apa, tapi jangan kebanyakan. Nanti bingung sendiri.
Saya ingin menyederhanakan pemikiran kita. Saudara itu ‘kan bagian dari rekrutmen. Yang militer lulus dari akademi militer, bertugas di lapangan, perang, bertempur, balik lagi, pendidikan tambahan, terus begitu, menjalankan tugas ke luar negeri, dalam negeri, pendidikan lagi, sampai di Lemhannas. Itu sebetulnya bagian dari penyiapan seorang pemimpin: pembekalan, peningkatan kapasitas, dan seterusnya. Di dunia nonmiliter, saya kira serupa. Di kepolisian, di pemerintahan, di partai politik, mungkin sedikit beda, tetapi hakikatnya juga ada proses penyiapan seperti itu. Di bisnis, itu juga malah bagus, sama dengan militer, kepolisian, ada jenjangnya, ada training, ada on the job training, ada evaluation system, ada reward and punishment, dan seterusnya. Itu juga sebetulnya bagian dari penyiapan kepemimpinan.
Nah, kalau Saudara membawa ke arena politik, kalau politik bagaimana? Bagaimana kalau tiba-tiba yang dipandang tidak cukup pengalaman, penugasan, pengetahuan, tiba-tiba menjadi apa saja begitu? Sehingga apakah begitu, apakah tidak melalui sistem, mekanisme dan proses yang bagus, itu juga debat yang menarik, diskursus yang kerap hidup di lingkungan masyarakat kita.
Oleh karena itu, sebenarnya siapa pun yang ingin menjadi pemimpin mesti tahu, kalau menjadi bupati, ya kira-kira apa sih tugas seorang bupati, peran seorang bupati, kewajiban dan tanggung jawabnya, permasalahan dan tantangan yang dihadapi. Maka ketika berani, “Ya, saya ikut pilkada, ikut pemilihan bupati,” dalam dirinya sudah diukur, “Insya Allah, saya bisa. Kurang-kurang sedikit, saya belajar nanti. Yang penting terpilih dulu.” Begitu, ‘kan begitu sebetulnya sehingga kita tidak bisa melarang, “Anda belum bisa.” Yang bisa mengukur sebetulnya yang bersangkutan, apakah siap, atau belum siap, atau kurang siap sedikit, digenjot sehingga pada saatnya bisa siap.
Itu tidak ada doktrin atau tidak ada aturan yang baku. Tidak ada, saya kira di dunia ini tidak ada. Bukan hanya di Indonesia, di negara mana pun enggak ada: harus begini, harus begitu jadi pemimpin. Tetapi akan menjadi pengetahuan umum bahwa siapa pun yang ingin running the office, apalagi political post, itu sudah tergambarlah kira-kira apa yang akan dilakukan ketika yang bersangkutan menduduki posisi itu.
Nah, saya tertarik tadi ketika disebut bupati, gubernur, wali kota, dan seterusnya. Tahun 1998-1999, pertama kali kita mendiskusikan di negeri ini, pemilihan Presiden itu baiknya bagaimana, langsung atau tidak langsung? Kalau tidak langsung, kita pernah mengalami, ya kita baru mengalami dua jenis pemilihan waktu itu. Bung Karno sekali dipilih pada saat Indonesia merdeka. Terus beliau, bahkan pernah diangkat menjadi Presiden seumur hidup. Ini pengalaman pertama memilih pemimpin: Bung Karno-Bung Hatta. Karena Proklamator, aklamasi bangsa ini, konsensus, beliaulah yang patut memimpin negeri kita. Dan itu sejarah, dan saya pribadi berpendapat itu benar.
Setelah itu, Pak Harto. Selama enam kali, pemilihan Presiden secara tidak langsung. Yang memilih MPR. MPR jumlahnya sudah ditentukan, 1.000 dulu ‘kan? Seribu itu siapa saja kita juga sudah tahu. Ini pengalaman kedua bangsa ini memiliki sistem di dalam pemilihan Presiden.
Terjadilah reformasi 1998-1999. Saudara masih ingat, saya waktu itu sebagai Ketua Fraksi ABRI di MPR RI ikut terlibat dalam mendiskusikan apakah sudah saatnya, atau sebelum sudah saatnya, mana yang lebih baik: seperti itu saja, era Pak Harto, atau kita bikin pemilihan Presiden secara langsung, direct presidential election. Pak Habibie tidak mencalonkan lagi. Gus Dur bersama Ibu Megawati mencalonkan, tapi masih menggunakan pemilihan Presiden secara tidak langsung. Terpilih Gus Dur dengan sistem itu. Kemudian Gus Dur tidak bisa melanjutkan tugasnya, diganti oleh Ibu Megawati. Nah, di situlah terjadi revolusi, perubahan yang dramatis sebetulnya, dari sistem pemilihan Presiden yang tidak langsung menjadi sistem pemilihan Presiden yang langsung.
Tetapi saya masih ingat sekali, diskusi kita waktu itu, saya bahkan ikut membicarakan kepada teman-teman, begini. Bisa saja, boleh saja, negara ini memilih sistem pemilihan yang langsung asalkan diingat, pemilihan secara langsung, apakah pemilihan Presiden—waktu itu belum bicara pemilihan gubernur, belum bicara pemilihan bupati, belum bicara pemilihan wali kota—Presiden, kalau itu berjalan dengan baik, akan baik sekali karena demokrasi betul-betul hidup. Rakyatlah yang memiliki kedaulatan yang sejati, yang memilih, “Saya ingin itu, bukan yang ini. Saya percaya kepada yang itu, bukan yang ini.” Itu hak rakyat. Dengan syarat, political education berlangsung dengan baik, rakyat mengerti betul mengapa harus memilih A dan bukan memilih B, mengapa lebih memberikan kepercayaan kepada X dan bukan kepada Z. Jadi, kekuatan dari sistem pemilihan langsung ini adalah mendekatkan dan memberi ruang yang besar kepada rakyat untuk memilih langsung siapa yang dikehendaki.
Tantangannya adalah manakala rakyat sendiri belum siap, rakyat sendiri belum memahami mengapa yang dipilih A dan bukan B. Ini tantangan. Saya sampaikan, tahun 1998-1999, the challenge of direct presidential election. Oleh karena itu, ke depan, harapan kita sebutlah pemilihan bupati, wali kota, yang diramaikan sekarang, “Sudahlah, Pak, kembalikan ke DPRD saja.” DPRD apa juga lebih bagus? Bagaimana kalau money politics di tingkat DPRD? Ada juga tantangannya. “Tapi kalau ini langsung, itu gaduhnya luar biasa. Kemudian berantem, yang kalah bakar, semua dibawa ke MK, gaduh juga, Pak.” Iya juga, ini ‘kan kita sendiri ini, yang bikin undang-undang ‘kan kita. Pemilihan bupati, wali kota, gubernur tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar, dalam arti langsung atau tidak langsung.
Tetapi kalau Presiden, diatur dalam konstitusi. Ini Pak Gamawan Fauzi, Pak Mendagri, terus mengembangkan pemikiran beserta pihak-pihak lain. Nanti kalau pilihannya memang yang paling baik untuk bupati, wali kota tidak langsung, asalkan dijamin tidak ada money politics ataupun penyimpangan-penyimpangan yang akhirnya ya tidak bagus, boleh juga kita ke situ, atau tidak pada tingkat gubernur, terserahlah. Yang penting, ini maunya bangsa ini seperti apa, tapi bukan trial and error, kita pikirkan dalam-dalam, kita pahami bahwa mana yang lebih baik untuk bangsa ini.
Ini pandangan saya pribadi. Saya bisa ngomong karena saya bukan capres. Kalau saya capres, dikira kampanye atau untuk kepentingan tahun depan. Karena saya bukan capres, jadi menurut saya siapa pun yang akan running the office itu tentu mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Semua sudah tahu kriterianya itu, integritasnya bagus, kapasitasnya oke, siap jadi apa pun, entah Presiden atau apa. Kemudian tentu dipilih, ya siapkan dengan baik.
Kalau ada teman-teman kita yang memiliki popularitas yang tinggi, tapi merasa, “Saya kok mesti saya tambah ilmu saya, pengetahuan saya,” ya tambah saja sehingga, apabila Allah menakdirkan nanti menjadi pemimpin, ya pemimpin yang siap untuk menjalankan tugasnya. Sebaliknya ada teman-teman kita, “Saya mampu kok, saya bisa kok, tetapi saya kurang populer.” Ya bikin populer, ya, ya, betul ‘kan? Bicaralah dengan rakyat, “Kalau saya memimpin, begini: A, B, C, D.” Rakyat percaya, Anda didukung, ya bagus. Ya itu, berikhtiarlah. Artinya, terbuka bagi siapa pun.
Dengan catatan, sekali lagi, ya semua harus bisa mengetahui apa tugas kewajiban dari pemimpin Indonesia tahun depan yang menggantikan saya, dan terus melanjutkan apa yang dilakoni negara ini, bangsa ini mengarungi kehidupan di masa yang akan datang.
Itulah dunia nyata dari kepemimpinan. Itulah dunia nyata, Saudara mengaitkan pemimpin dengan rekrutmen, political recruitment, rekrutmen partai politik, macam-macam tadi, dengan pemilukada, pemilihan umum, dan sebagainya. Itulah real world.
Nah, kalau pemimpin meletakkan dirinya dalam konteks itu, sudah benar. Kalau Saudara memikirkan penyiapan pemimpin dan kepemimpinan untuk menuju ke situ dengan memahami dunia nyata, itu sudah benar. Kalau Saudara memikirkan sistemnya bagaimana, istilahnya itu, membuat kriterianya seperti apa, asalkan paham seperti itu, sudah benar.
Begini, Saudara-saudara, Lemhannas misalkan, ini misalkan ya, seminarnya berapa hari, Pak Gubernur, seminar itu? Satu hari. Misalkan Bapak setahun seminar—misalnya ini—setahun seminar, bikin “Kepemimpinan, Cara-Cara Rekrutmen, Kriteria Bupati, Wali Kota, Gubernur, Presiden” yang intinya beginilah cara memilih pemimpin, beginilah kriteria pemimpin yang layak untuk menjadi bupati, gubernur, dan Presiden. Tetapi rakyat tidak menggunakan itu. “Pak, saya pengin itu kok.” Ini loh. “Pak, saya ingin itu.” ‘Kan enggak bisa apa-apa. Oleh karena itu, bawalah semuanya dalam satu konteks.
Kita tidak bisa memaksa. Kalau rakyat sukanya si A, mau dipaksa si B, “Tetapi B ini begini loh, memenuhi kriteria Lemhannas. Yang kedua, ini sistem-sistem Lemhannas. Yang ketiga, yang diseminarkan selama setahun tadi.” Ya enggak bisa. Oleh karena itulah, ayo kita bawa ke dunia nyata, pikiran-pikiran yang baik ini, alirkan, pendidikan politik penting. Semua menggarisbawahi pendidikan tadi, supaya kita melihat sesuatu dari perspektif yang sama, menggunakan bahasa yang sama, memiliki pemahaman yang sama. Dengan demikian, baik calon-calon pemimpin bisa berjuang menuju ke sesuatu yang kita pahami bersama-sama. Rakyat yang memilih pemimpin-pemimpin itu juga memahami masalah yang sama. Dengan demikian, kehidupan bernegara, negara kita di masa depan, akan jauh lebih baik dibandingkan sekarang ini.
Yang terakhir: pendidikan. Saya ingin bicara media massa, di sini ada media massa. Media massa perannya besar. Saya rasakan sejak Indonesia melakukan reformasi 15 tahun yang lalu, 1998. Saya sendiri selama 15 tahun, sembilan tahun menjadi Presiden, tinggal setahun kurang sedikit saya mengakhiri tugas saya. Kalau saya boleh menilai pers kita ini, media massa kita ini memberikan andil yang besar terhadap fungsi kontrol, mengontrol penguasa, mengontrol pemerintah, mengontrol semuanya. Dan itu bagus, itu diperlukan dalam kehidupan demokrasi.
Pers yang tidak kritis, yang tidak mengontrol, tidak melaksanakan fungsi kontrolnya, tentu ya kehilangan momentum untuk menyelamatkan kehidupan di negaranya, demokrasinya. Yang kurang menurut saya, adalah peran pers dalam fungsi pendidikan, pendidikan dalam arti yang luas: pendidikan politik, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan di dalam demokrasi, pendidikan dalam election. Memang kurang menarik dibandingkan mengontrol, mengkritisi. Padahal dua-duanya kita perlukan. Karena sudah ada research yang paling mengubah alam pikiran rakyat kita ini adalah televisi, bukan yang lain. Sekarang, masuk media sosial, baru print media.
Nah, kalau kita paham pikiran rakyat kita banyak diubah dan dipengaruhi oleh televisi, oleh media sosial, dan media-media tadi, maka saya menitipkan kepada pers Indonesia, bukan untuk kepentingan saya, sudah mau selesai, tapi untuk kebaikan demokrasi di masa depan. Jalankanlah kedua fungsi itu secara seimbang, fungsi mengontrol, mengkritisi, mengawasi dengan fungsi untuk pendidikan dalam arti yang luas sehingga kehidupan di negeri kita ini memiliki keteraturan, konstitusionalitas, dan tegaknya rule of law. Kebebasan tanpa rule of law akan membahayakan demokrasi yang kita anut dan jalankan bersama-sama.
Saudara-saudara,
Pendidikan, ya pendidikan, saya kira semuanya sudah tahu, perannya sangat-sangat penting, tidak perlu saya jelaskan. Tetapi kalau saya juga ingin menyederhanakan, Saudara sudah mengawali tadi, bahwa mari kita berpikir Indonesia setelah 100 tahun merdeka, Indonesia pada tahun 2045, Indonesia ketika jumlah penduduknya sudah lebih dari 350 juta. Ini perkiraan, prediksi, bisa ada perubahan. Kalau antara sekarang sampai 2045, kita lakukan banyak hal, Indonesia yang tentu memerlukan sumber kehidupan yang sekarang menjadi isu-isu kritis, apakah pangan ataupun energi misalnya. Semua mengatakan, “We need 60% more untuk energy and food.” Indonesia seperti itulah 2045, sekaligus 100 tahun apa yang ingin kita lihat terjadi di negeri kita ini, inilah yang disebut dengan visi, penglihatan yang jauh ke depan.
Di beberapa kesempatan, saya memberanikan untuk mengonstruksikan our dream tahun 2045 itu. Mengingat tantangan yang akan kita hadapi, bagian dari tantangan manusia sejagad, kelangkaan sumber daya alam, kebutuhan yang meningkat, situasi yang tidak selalu kondusif untuk itu, maka 2045, ekonomi di negara ini haruslah ekonomi yang kuat, strong economy; ekonomi yang berkelanjutan, sustainable; ekonomi yang adil dan merata, just.
Jadi, kalau 2045 kita punya ekonomi seperti itu, strong, just and sustainable, itu sudah menjawab atau sesuai dengan apa yang dirumuskan oleh para pendiri republik melalui Undang-Undang Dasar 1945. Dengan ekonomi yang seperti itu, hampir pasti, dengan izin Tuhan, kesejahteraan rakyat akan bisa ditingkatkan, kemiskinan akan bisa berkurang, kemajuan akan lebih merata di seluruh tanah air, 2045. Sekarang 2013, anggaplah kalau 2015 tinggal dua tahun, berarti 30 tahun dari era kita ini. Ekonomi.
Yang kedua, politik dan demokrasi. Demokrasi sekarang kita ini, menurut saya, masih dalam proses menuju ke kematangannya, menuju ke consolidated democracy in the making, masih terus berjalan dan berkembang. 2045, yang kita harapkan adalah juga strong democracy, tetapi demokrasi yang stabil, stable, dan tentunya demokrasi yang lebih berkualitas. Sekarang belum. Sembilan tahun saya jadi Presiden merasakan belum seperti itu. Oleh karena itu, pekerjaan bangsa yang besar, 30 tahun mendatang menuju demokrasi yang kuat, stabil, dan lebih berkualitas. Itu yang kedua.
Nah, yang ketiga atau yang terakhir, menurut pandangan saya, bangsa ini akan terus berkembang dengan sendirinya, self-generating, self-developing, kalau memang peradabannya unggul dan maju. Peradabannya, ya misalnya kultur, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa yang adaptif dan inovatif, itu bagian dari peradaban dalam arti yang luas. Kalau dalam waktu 30 tahun kita perkuat, kita bangun civilization seperti itu, maka setelah 100 tahun merdeka, bangsa ini seperti negara maju di Eropa, di Jepang, di Amerika Serikat, akan menjadiself-developing nation, self-generating nation. Ada masalah-masalah pasti bisa diatasi, tidak akan jatuh bebas. Mungkin ada setback sebentar, mungkin ada kemandekan, mungkin ada stagnasi, tapi akan bisa diatasi karena dasarnya sudah menjadi self-developing, self-generating nation.
Nah, kalau kita melihat 2045 seperti itu, Saudara-saudara, maka pendidikan kita harus berorientasi pada pencapaian tujuan itu. Jangan terlalu generik, tapi mari kita bikin satu paradigma, satu kebijakan dasar, satu strategi, satu blueprint, satu roadmap, bagaimana pendidikan nasional menuju ke situ. Dan saya kira ini tidak uniqueIndonesia. Negara-negara berkembang yang lain juga memerlukan cara pandang seperti ini. Oleh karena itu, pendidikan—sayang, Mendikbud tidak hadir, nanti bisa diteruskan ya—kalau kita mau ambil kriteria yang mudah diingat, pendidikan kita harus membikin manusia Indonesia tangguh, tidak mudah menyerah, tidak cengeng, tidak mengeluh, budaya saling menyalahkan, pesimis, skeptis, berpikirnya negatif. Jangan. Kalau bangsa Indonesia seperti itu, enggak ke mana-mana kita dan tidak menjadi siapa-siapa.
Pertama-tama, anak didik kita, bangun budaya tangguh, tough, tidak menyerah, optimis, mau bekerja keras, bisa. Begitu, through education, dengan bimbingan dan pengasuhan yang bagus, dengan metodologi yang bagus. Yang kedua adalah, ya cerdas, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan hanya informasi, tapi juga knowledge. Yang ketiga, dunia akan luar biasa berubah.
Saya sebagai Presiden beberapa kali menghadiri pertemuan G20, pertemuan APEC, bahkan kemarin menjadi tuan rumah APEC, ASEAN, PBB, Organisasi Kerja sama Islam, banyak lagi forum-forum dunia yang saya ikuti. Selama sembilan tahun ini, saya memiliki kesimpulan: dunia ini begitu dinamis, penuh dengan ketidakpastian, berubah dan berkembang sering sangat cepat. Itulah dunia kita, that’s our world. Oleh karena itu, bangsa yang akan menang dalam persaingan di masa depan adalah bangsa yang adaptif dan inovatif. Kalau bangsa itu sulit berubah, melihat segala sesuatu, “Wah ini bahaya ini, ancaman ini. Sudah kita begini saja.” Begini saja, ketinggalan kita, kalah kita.
Jadi, we have to be more adaptive and innovative. Pendidikan harus ke situ, bagaimana membikin anak TK kita, SD-SMP-SMA, kalau mau dari situ, ya adaptif dan inovatif. Pada tingkat kita, tingkat perwira, tingkat teknokrat, tingkatgovernment official, tingkat business leaders, tingkat pemimpin partai politik, adaptif dan inovatif.
Nah, pesan saya: pendidikan. Pendidikan juga harus menyumbang agar bangsa ini tetap rukun, why? Bangsa kita sangat majemuk. Akar konflik di mana-mana. Lihat sejarah kita, sejak ’45, bahkan sebelum ’45: konflik, benturan, persaingan, kekerasan horizontal. Kita harus mengubah through education.
Jadi, kalau jangka panjang, pendidikan kita seperti itu, itu yang yang fundamental, kemudian kita punya blueprintmenuju 2045, yang saya katakan tadi, through education, pendidikan dasar, university, semua ke situ. Maka berarti pendidikan kita menjadi penyumbang utama, menjadi jalur atau poros utama untuk menuju Indonesia 2045, sebagaimana yang Lemhannas sampaikan tadi.
Saudara-saudara,
Saya kira itu yang ingin saya sampaikan. Sekali lagi, terima kasih Saudara sudah menjadikan tema seminar tiga masalah besar itu: Pancasila, Kepemimpinan Nasional di Masa Mendatang, dan juga Pendidikan untuk Menjadi Negara Maju Indonesia Tahun 2045.
Selamat bertugas setelah selesai mengikuti pendidikan ini. Bagi para perwira yang berasal dari negara-negara sahabat, saya mendoakan juga karier Saudara bertambah maju dan gemilang. Sampaikan salam saya kepada Presiden atau Perdana Menteri atau pemimpin-pemimpin militer di negara Saudara-saudara semua. Jadikan Indonesia tanah air kedua. Terima kasih.
Setiap saat, welcome back to visit us. They’re your friends. Semua adalah friends of you, and you are friends of Indonesia. Mari kita bangun partnership, kerja sama yang baik. Dunia makin kompleks, and we cannot solve it alone. What we need is cooperation and partnership. Through you, tolong disampaikan semangat bangsa Indonesia untuk bermitra, bersahabat, dan bekerja bersama-sama.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
*****
Biro Pers, Media dan Informasi
Sekretariat Presiden
Sumber: presidenri.go.id