Laman

Isi Pidato Presiden RI Saat Silaturahmi dengan Pengurus PWI, Banjarbaru, Kalimanatan Selatan, 23 Oktober 2013

Biro Naskah Pidato - Berikut ini transkrip pidato sambutan Presiden Republik Indonesia saat bersilaturahmi dengan para pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Acara silaturahmi ini sendiri diselenggarakan di Banjar Baru, Kalimantan Selatan, pada 23 Oktober 2013.

TRANSKRIP
SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SILATURAHMI DENGAN PENGURUS

PERSATUAN WARTAWAN INDONESIA (PWI)

BANJARBARU, KALIMANTAN SELATAN

23 OKTOBER 2103


Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamu’alaikum Wr. WB.,

Salam sejahtera untuk kita semua,



Bapak-Ibu, 

Saudara-saudara yang saya cintai,




Alhamdulillah, hari ini kita dapat kembali bertatap muka dengan meneguhkan tekad kita untuk bersama-sama membangun negeri ini ke arah yang lebih baik, tentu sesuai dengan peran dan tugas kita masing-masing. 



Sebelum saya menyampaikan yang hendak saya sampaikan, ada beberapa catatan saya. Yang pertama, saya ingin berbicara lebih terbuka pada sore hari ini sehingga saya minta maaf kepada panitia kalau waktu yang saya gunakan sedikit lebih lama dibandingkan kalau hanya sambutan-sambutan yang sifatnya normatif, yang semua orang sudah tahu, meskipun saya tidak akan membicarakan terlalu banyak materi atau subtansi yang akan diseminarkan oleh Saudara semua. Itu yang pertama. 


Yang kedua, setelah sembilan tahun saya menerima dengan ikhlas kritik yang diberikan kepada saya oleh pers, oleh pengamat, oleh politisi melalui media massa—dan itu penting; tanpa itu, barangkali saya tidak bisa bertahan hingga tahun kesembilan dan insya Allah akan mengakhiri tugas saya akhir tahun depan—namun pada sore hari ini, izinkan saya juga ingin menyampaikan sejumlah kritik. Nah biasanya, atau jangan-jangan, pihak-pihak yang ingin saya kritik malah tidak ada di sini. 



Ini ada contoh. Saya 30 tahun hidup di lingkungan Tentara Nasional Indonesia. Biasanya, komandan itu, kalau ada yang enggak beres, misalkan ada satu kompi, malam Minggu meskipun libur diatur, “Kalian boleh pesiar sampai jam 12 malam. Setelah itu, kembali lagi karena siapa tahu ada tugas subuh hari atau esok harinya.” Pesiarlah kompi itu. 



Kemudian, tepat jam 12, komandannya mengambil apel. Kumpul, dicek. Ternyata, ada dua orang yang terlambat. Komandan marahnya luar biasa. Setengah jam dimarahi, setengah jam dihukum. Nah, yang dimarahi dan yang dihukum yang tidak salah karena tidak terlambat. Marahnya karena terlambat. Yang terlambat malah selamat, tidak dihukum. 



Jadi, kalau dalam kritik saya nanti Bapak-Ibu merasa, “Enggak begitu. Bukan saya, bukan saya,” ya anggaplah contoh tadi itu.



Catatan yang ketiga atau yang terakhir—kalau kebanyakan mukadimah, kapan nanti batang tubuhnya?—saya protes sama Mas Margiono. Waktu mengumumkan Kabinet PWI, saya mendengarkan dengan baik, dan saya tidak pernah mengumumkan sebelum Presiden PWI mengumumkan. Tetapi tahun 2004 dan 2009, sebelum saya mengumumkan anggota kabinet, media massa kita, koran, majalah, televisi, radio, mengumumkan habis, “Calon Menkopolkam: 1. Djoko Suyanto; 2. Ini.” 



Apa yang terjadi? Mereka yang tidak saya angkat marahnya sampai sekarang. Ini saksi. Dalam buku yang akan saya luncurkan sebentar lagi, masuk masalah ini. Betapa saya dimarahi, dibenci, dimusuhi oleh mereka-mereka yang sudah beredar namanya dalam media massa, begitu. Dan tragisnya pernah diwawancarai, “Bagaimana Bapak nanti kalau terpilih?” “Ya, saya bersyukur. Saya siap mengemban tugas.” This is true story, true story. Begitu namanya tidak ada, SMS-nya kasar sekali, “SBY, Anda jangan mempermalukan saya. Tidak baik seperti itu.” Marahnya habis-habisan, berbulan-bulan marah sekali, namun sekarang agak lumayan—karena sudah diwawancarai, sudah masuk, beredar susunan kabinet waktu itu. 2009, terjadi lagi. Reshuffle juga begitu. 



Oke, saya tidak pernah mendahului pengumuman Presiden PWI. Saya baru tahu hari ini siapa yang Pembina, Kehormatan, Pengurus, dan semua perangkat yang ada. Saya ucapkan selamat kepada Bung Margiono, dan Bung Ilham Bintang, dan semua yang akan mengawaki PWI lima tahun mendatang. 



Ingat, PWI memiliki peran yang sangat luar biasa. You are so powerful now. Oleh karena itu, gunakan power dengan sebaik-baiknya. 



Dulu barangkali yang powerful itu Presiden, sebelum reformasi. Maka nasihatnya, “Eh Presiden, Anda punyai poweryang luar biasa. You are the most powerful person in this country. Jangan ada abuse of power.” Nah sekarang barangkali tidak lagi Presiden karena powerful dose-nya sudah terdistribusikan sebagaimana yang saya sampaikan pada puncak Hari Pers di Kupang beberapa tahun yang lalu. Oleh karena itu, selamat, sukses, jadilah organisasi kewartawanan yang membawa angin segar, yang membikin negeri ini makin ke depan makin baik.



Saudara-saudara,

Yang ingin saya sampaikan ini tiada lain sebuah refleksi. Pak Gubernur, boleh disebut Refleksi Banjarmasin. Dan ini satu tahun terakhir saya mengemban tugas. Tanggal seperti sekarang ini di tahun depan, 23 Oktober tahun depan, sudah ada Presiden baru yang sudah tiga hari memimpin kita semua nantinya. Oleh karena itu, kalau saya menyampaikan apa yang saya sampaikan ini, anggaplah babak akhir dari tugas saya untuk memimpin negeri dan pemerintahan ini yang nampaknya secara moral saya ingin berbagi dengan Saudara semua, dan lebih tepat kalau urusan demokrasi, urusan kemerdekaan pers, urusan peran media, ya kepada yang hadir di ruangan ini karena komunikasi kita akan bagus. Kita memahami betul apa yang terjadi di negeri ini today dan kemudian tommorow



Singkatnya, saya mengajak berbicara dari hati ke hati. Mungkin yang saya sampaikan nanti, tidak semua, satu-dua hal yang ingin saya sampaikan—kalau boleh disebut kritik, ya kritik—itu mewakili jutaan rakyat Indonesia yang memiliki perasaan yang sama, pikiran yang sama, usulan-usulan yang sama bagi Saudara, bagi kita semua.



Saudara-saudara,

Saya pernah bicara rasanya karena tahun 1998-1999 saya juga menjadi salah satu pelaku sejarah reformasi. Pertama-tama, menyusun paradigma, blue print, serta agenda reformasi TNI—masih berbicara ABRI waktu itu—selama dua tahun; bersamaan dengan itu, karena saya menjadi Ketua Fraksi ABRI, MPR RI. Selama dua tahun lebih itu, saya juga ikut dalam menyusun gerakan pertama reformasi nasional kita sehingga, kalau bicara reformasi, kita berada dalam satu perahu. Oleh karena itu, patut kalau saya sampaikan bagaimana kita melangkah ke depan ini setelah mengingat apa yang hendak kita tuju ketika kita bersama-sama ingin melakukan perubahan mahabesar di negeri tercinta ini. 


Waktu itu, saya ditanya, “Kalau ada dua pilihan, pilih mana: ada kemerdekaan pers atau tidak ada kemerdekaan pers?” Banyak contoh di dunia. Katanya, sebuah negara yang menganut faham otoritarian atau semiotoritarian, persnya tidak begitu merdeka, justru berhasil: politiknya stabil, ekonominya maju. Begitu teorinya. Tapi kalau katanya negara demokrasi, persnya bebas sebebas-bebasnya, katanya malah tidak stabil, ekonomi tidak jalan. Itu pandangan yang berbeda. Saya pribadi—dalam tulisan saya tahun 1998, juga ada—saya memilih ada kebebasan pers. Bagaimanapun, bagaimanapun, apakah ada ekses, ada sesuatu yang merupakan cost dari kemerdekaan pers, tapi sebuah bangsa, sebuah negara, sebuah demokrasi, sebuah society, kalau memiliki kemerdekaan pers, pasti jauh lebih baik. 



Berpasangan dengan itu, pertanyaan kedua adalah, “Setuju tidak kalau pers itu diatur dan dikontrol?” Sama dengan Bung Margiono tadi, saya tidak setuju karena kisah masa lalu kita, sebelum 1998, kemerdekaan pers did not exist, kemudian terlalu banyak kontrol kekuasaan terhadap pers dalam berbagai bentuk. Muaranya adalah krisis yang terjadi pada tahun 1998. 



Itulah dua hal penting yang merupakan perjuangan kita pada saat awal reformasi dulu. Alhamdulillah, keduanya telah hadir sekarang ini. There is freedom of the press, there is no control of the government over the press. Dua-duanya telah kita capai, dan ini monumental, ini historical. Terima kasih kepada para pejuang reformasi, terima kasih kepada para mahasiswa, terima kasih kepada semua yang ingin melakukan perubahan atas banyak hal yang kita anggap menyimpang dalam kehidupan bernegara kita 15 tahun yang lalu itu.



Saudara-saudara,

Sejak itu, sejak tahun 1998, pers kita merdeka, sungguh merdeka. Nah sekarang, setelah 15 tahun berjalan, saya tidak perlu memotret. Saudara punya hasil rekamannya masing-masing, apakah itu snapshot, foto, ataupun itu semacam motion pictures, tahun demi tahun sejak 1998 sampai 2013, 15 years, dan itu bagian dari perjalanan sejarah kita, dan saya tidak perlu menjelaskan karena kita semua merasakan, kita mengetahui, bahkan kita ikut menciptakan sejarah itu. We are all creating our own history, termasuk our own democracy



Nah kalau sekarang muncul dua pertanyaan dalam suatu proses dialektika sejarah, biasanyanya ada tesis, antitesis, ada sintesis. Dua pertanyaan yang muncul sekarang adalah mana yang paling baik: kemerdekaan pers itu disertai tanggung jawab atau tidak, freedom for the sake of freedom? Semua bisa menjawab. Jawabannya “Yes, mesti, harus ada responsibility.” We know all that, kita tahu semuanya, tapi relevan untuk sama-sama berintrospeksi kita. 



Ingat bahwa bukan hanya power, kekuasaan yang cenderung untuk disalahgunakan. Saudara sudah tahu, saya sering mengatakan, Lord Acton menyebut bahwa, “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.” Ini terjadi di negara mana pun juga di dunia. 



Tapi ada wise saying yang lain—kebetulan, saya akan cantumkan dalam buku saya yang bulan depan insya Allah akan selesai—not only power, liberty too can corrupt. Jadi kemerdekaan, kebebasan yang melebihi batas itu bisacorrupt, bisa disalahgunakan, maksudnya. Absolute liberty can corrupt absolutely. Merasa bebas, dia bisa menyerbu komunitas lain, bisa menyerang pihak-pihak lain on behalf of freedom. Itu salah. Liberty too can corrupt



Pertanyaan yang kedua adalah, “Dalam pers yang merdeka, apakah makin diperlukan etika dan standar jurnalisme yang makin baik?” Semua tahu, jawabannya “Yes”, dan saya tahu PWI—dari tahun ke tahun, kita bertemu di Palembang, kita bertemu di Kupang, kita bertemu di Jambi, kita bertemu di Manado—Bapak selalu mengatakan langkah-langkah PWI untuk melakukan pendidikan jurnalistik, etika jurnalisme. Saya mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan karena itu pertanyaan yang relevan sekarang ini. 



Begini, Saudara-saudara, mengapa di era sebelum reformasi saya ajukan dua pertanyaan tadi, dan kemudian sekarang, di era reformasi, saya ajukan perangkat pertanyaan yang lain? Pers sekarang ini, dengan perannya yang makin mengemuka, dengan kekuasaannya, power, yang makin besar, itu memiliki dampak yang sangat dahsyat pada kehidupan masyarakat, juga terhadap masa depan demokrasi kita. 



Dari sini, saya ingin berbagi cerita yang paling akhir. Nah, dengan storytelling ini, saya mengajak sekali lagi, coba kita renungkan sebagai suatu refleksi dan kontemplasi. Apa itu? Berita seputar Kapolri baru. 



Kemarin, dalam perjalanan saya dari Jakarta ke Yogya dan ke Banjarmasin ini, saya sibuk karena harus menerima berbagai berita, informasi dari sejumlah kawan. Intinya, beberapa media mengangkat isu ini, not all, 1-2-3. Print media-nya ada, broadcast media-nya ada, internet, social media-nya juga ada. Jadi kesimpulannya: ada.



Apa yang diberitakan? Dibangun keadaan, atau isu, atau berita bahwa sebenarnya Komjen Sutarman itu tidak diusulkan oleh atasannya, alias tidak diusulkan oleh Kapolri. Tetapi SBY dilobi oleh seseorang. Akhirnya, muncullah nama Sutarman, begitu. Dan berita ini diangkat, kemudian diberitakan, dibaca oleh jutaan orang kita setelah Komjen Sutarman menjalani fit and propert test oleh DPR RI. Yang saya pantau, DPR RI konon cenderung untuk menyetujui usulan Presiden terhadap pengangkatan Komjen Sutarman itu. Itu berita dan cerita yang dibangun. 



Apa yang sesungguhnya terjadi? Saya tidak harus menceritakan ini karena saya bekerja dengan dan melalui sistem. Kalau saya ceritakan semua, tidak bekerja dan tidak bisa tidur karena setiap hari, berjam-jam, saya menceritakan kepada rakyat, bagaimana saya mengambil keputusan, bagaimana menetapkan kebijakan, bagaimana memberikan instruksi atas banyak hal: dalam negeri, luar negeri, politik, ekonomi, budaya, sosial, hukum, hubungan luar negeri, keamanan, dan sebagainya. Tapi karena tiba-tiba muncul dalam percaturan masyarakat luas, maka rasanya saya perlu menyampaikan cerita yang sesungguhnya.



Seperti biasanya, sesuai dengan undang-undang, sesuai dengan aturan, maka yang mengusulkan nama Kapolri adalah, satu, Kompolnas yang kebetulan ex officio Ketua Kompolnasnya adalah Menkopolhukam. Ada di sini: secara tertulis, mengajukan usulannya kepada Presiden. Yang kedua, sebagaimana mengusulkan KSAD, KSAL, KSAU, dan juga Panglima TNI, sebelum saya putuskan dan saya bawa ke DPR RI, maka Panglima TNI yang mengusulkan. Nah Kapolri juga begitu. 



Kompolnas mengajukan empat nama. Di antaranya, ada Komjen Sutarman. Kapolri mengajukan empat nama. Di antaranya, ada Komjen Sutarman. Kebetulan, empat nama itu sama. Jadi, gugurlah sudah cerita yang dibangun bahwa Sutarman itu tidak diusulkan oleh Kapolri, tidak diusulkan oleh Kompolnas, kok tiba-tiba dipilih oleh SBY—hanya untuk membangun cerita ada seseorang yang melobi, yang datang ke SBY agar calon itu digolkan. 



Sutarman peringkat pertama yang diusulkan: senioritas dan lain-lain. Jadi dari situ, sudah patah argumentasi yang sekarang ternyata dibeli. Penetapannya pun melalui proses. Ada saya, ada Wakil Presiden, ada Menkopolhukam selaku Ketua Kompolnas, ada Kapolri sendiri, ada Mensesneg, ada Seskab, dan ADA Ka-BIN. Ka-BIN harus melaporkan apakah ada catatan-catatan menyangkut banyak hallah, misalkan kepribadian dan segala macam, begitu. 



Setelah Ketua Kompolnas menyampaikan, setelah Kapolri menyampaikan, saya persilakan yang lain memberikan tanggapan, pandangan, dan usulannya one by one, termasuk Wapes. Setelah itu, baru saya putuskan oke sesuai dengan usulan Kompolnas, sesuai dengan usulan Kapolri, sesuai dengan pandangan semua. Saya putuskan dan saya setujui Komjen Sutarman untuk menjadi calon Kapolri. 



Memang, ada pihak-pihak yang menyampaikan kepada saya dengan cara yang berbeda-beda agar saya mengusulkan nama-nama yang lain. Justru ini yang partikelir. Yang diusulkan ada yang tidak masuk empat nama itu; ada juga yang masuk empat nama itu. Saya, selama sembilan tahun, tidak bisa model begitu: harus terang, harus akuntabel, berdasarkan sistem, dan itu sejarah. Oleh karena itu, ini ketika digulirkan melalui sejumlah media massa, bagus sekali bagi saya untuk entry point, untuk bicara lebih dalam hari ini. 



Yang pertama, sayang sekali tidak dilakukan cross-check terlebih dahulu kepada pelaku-pelaku pengambilan keputusan. Saya prihatin karena isu ini dibeli oleh masyarakat. Not all, tapi pasti ada yang membeli. Yang dituduh melobi saya stres sekarang. Kita tersenyum. Tapi kalau yang stres kita, Bapak-Ibu yang jadi korban? Malu sama yang lain, dianggap yang aneh-aneh begitu sama anak, istri, keluarga, orang tua. Victim sudah terjadi, korban sudah ada. Internal Polri bisa kacau balau, “Oh, ternyata ini tidak diusulkan. Siapa ini?” Ya harus kohesif, organisasi itu bisa terganggu dengan berita itu. Kalau kita teruskan, politik juga bisa gaduh oleh sesuatu yang tidak ada, begitu. 



Ada siaran TV yang mengangkat itu, ada berita di sebuah majalah yang mengangkat itu, ada media online, internet, yang juga mengangkat itu. Contoh sesuatu yang harus kita telaah bagaimana baiknya ke depan seperti ini untuk negara yang kita cintai, untuk kehidupan masyarakat yang ingin kita semua menjadi good society, baiknya bagaimana, karena masih banyak yang lain. 



Nah dari situ, favorit pers, favorit PWI, sama dengan favorit saya, bagaimana sih sebetulnya setelah pers memiliki kebebasan, setelah tidak ada kontrol? Dan setelah semua sadar etika jurnalisme itu penting, bagaimana sekarang? Ke depan? Bagaimana kita memahami dan mengaplikasikan etika jurnalisme itu? Saudara tahu, lebih tahu dibandingkan saya meskipun saya studi mendalam tentang pers, media, politics and media, press and democracy, tapi banyak sekali teori, konsep, dan praktik tentang etika jurnalisme, banyak sekali. Bisa sebulan kita belajar di situ. 



Tetapi ada yang lebih universal. Negara mana pun, demokrasi mana pun menganut prinsip-prinsip demokrasi tertentu. Nah, yang ingin saya sampaikan, pertama: truthfulness. Berita itu ada, benar, ada faktanya, dan secara jujur diberitakan. 



Yang kedua: accuracy, akurat. 



Yang ketiga: objectivity, objektif. 



Yang keempat: impartiality, tidak berpihak. 



Yang kelima: fairness, adil. 



Yang keenam: public accountability, dapat dipertanggungjawabkan. Sumbernya jelas berita itu, isinya logis, sudah di-cross-check oleh sumber dan keterangan yang lain. Bayangkan kalau di negeri ini berita yang diangkat oleh media-media konvensional berasal dari social media yang sumbernya tidak jelas, who are they, siapa dia, tapi menjadi rujukan terus-menerus. Let’s talk now, mari kita bicara bagusnya bagaimana. 



Yang ketujuh: balance and cover both sides, berimbang. 



Yang kedelapan: proportionality, tidak melebihi kepatutannya. Bapak mau menghajar seseorang sampai masuk liang kubur, atau menelanjangi sesuai dengan kelakuannya, perbuatannya, ini termasuk proportionality, tidak melebihi kepatutan.



Nyambung dengan prinsip kesembilan: limitation of harm, bukan HAM, hak asasi manusia, tapi harm, supaya, “Orang itu mau dibunuh atau bagaimana ini?” Padahal belum tentu salah. Jadi, ada limitation of harm



Sumber penting. Begini, Bapak—lagi-lagi, maafkan saya kalau saya memberi contoh di dunia militer—kalau dalam peperangan, saya panglima perang, ada seorang bintang dua melaporkan intelijen, maka intelijen itu harus benar, informasinya benar, beritanya benar. Beritanya salah masuk saya, pengambilan keputusan, misalkan dalam keadaan perang, “Besok kita serang Ambalat, atau dua hari lagi serang Ambalat. Linud terjun sebelah Sebatik, Marinir merapat, Air Force interdiksi, kita daratkan Divisi II dari Malang, kita rebut, dan saya minta Ambalat dapat kita rebut dalam waktu dua minggu,” berdasarkan informasi yang masuk ke saya. Informasinya benar, kemungkinan operasi kita berhasil, mungkin juga tidak berhasil, tapi tidak akan fatal. Informasinya salah, intelijennya salah, bisa habis itu pasukan. 



Berita juga begitu. Yang pertama: berita ini siapa sumbernya? Reliable tidak? Yang kedua: logis enggak berita ini? Sudah di-cross-check belum berita ini? Diperkuat enggak dengan informasi yang lain? Jika jawabannya “Ya, ya, ya”, maka intelijen militer mengatakan A1. Kalau intelijennya tidak benar, perangnya kalah. Yang dimasukkan pengadilan adalah pemimpin intelijen tadi. Tapi kalau segalanya benar, panglima perangnya yang tidak betul strateginya, segala macam, dia yang dimintai pertanggungjawaban. 



Dulu, dalam perang Vietnam, Jenderal Westmoreland dilapori ada kejadian begini-begini, dan akan ada Tet Offensive, Hari Raya Tet. Entah bagaimana, tidak bisa dicegah, terjadilah serangan di mana-mana oleh Viet Cong, mengubah jalannya sejarah. Rakyat Amerika tidak percaya, Kongresnya gaduh, dan itu leading too mundurnya Amerika dan jatuhnya Saigon pada tahun 1975. Apakah intelligence failure? Apakah proses decision-making yang tidak tepat? Tapi satu hal, harus akurat, sumbernya jelas, isinya logis, sudah di-cross-check dengan sumber ataupun informasi yang lain. 



Tentu, tujuh prinsip ini masih bisa diperpanjang. Bapak-Ibu yang lebih tahu. Saya hanya, terbatas pengetahuan saya. Tujuh seperti ini. 



Memang ada kontraargumen. Begini, satu, orang mengatakan, “Press is the mirror of reality. Jangan marah sama persnya. Kalau kenyataannya begitu, ya pasti diceritakan begitu.” Saya setuju. Poinnya, there is a reality, ada faktanya, ada kejadiannya, ada orangnya, begitu. Begitu ada fakta, ada realitas, ada kejadian, ada peristiwa, silakan diberitakan, dikasih opini, ditanggapi, mau kritik sana, ada faktanya. Kalau Presiden mengambil keputusan, menetapkan kebijakan, mengambil tindakan apa pun, pers bebas untuk mengatakan, “Salah SBY. Enggak begitu. Kebijakannya buruk. Tindakannya kok begitu?” Boleh mengatakan begitu karena ada keputusan saya, ada kebijakan saya, ada tindakan saya, dan itulah demokrasi. Saya mendengarkan. Ada yang setuju, ada yang enggak setuju. Saya lihat-lihat. Mungkin ada modifikasi policy. Itu gunanya. Tapi tanggapi keputusan mana, kebijakan mana, dan program mana berdasarkan reality, fakta. 



Kontraargumen yang kedua adalah “Masyarakat tidak mudah percaya jika beritanya bohong.” Ya, bagi masyarakat yang memiliki pengetahuan yang cukup, bisa menalar, bias, “Ah, tidak masuk akal berita ini.” Tetapi 250 juta saudara kita di seluruh pelosok tanah air sangat bisa ada yang percaya terhadap berita apa pun yang dimunculkan di media kita. 



Nah dengan cerita sederhana ini, Saudara-saudara, keluar dari hati saya. Saya sudah lama menyimpan selama sembilan tahun ini, dan kalau setahun terakhir tidak saya sampaikan, salah saya, berdosa saya. Saya harus sampaikan baik-baik. Tugas kita, tugas Bapak-Ibu, adalah saya sebagai Kepala Negara. Saya juga dipilih oleh rakyat, bukan maunya tiba-tiba saya jadi Presiden, bukan mencegat Presiden di tikungan, terus mobilnya masuk jurang, terus saya jadi Presiden, bukan. Saya ikut pemilihan 2004, 2009, dan sangat bisa kalah saya dulu, tapi Tuhan, rakyat memilih sehingga, di akhir masa jabatan saya, tentu secara moral saya ingin berbagi dengan niat yang baik. 



Pertanyaannya sekarang, bagaimana baiknya pers dan media untuk bersama-sama menjadi kekuatan yang luar biasa tadi menuju negara maju dan modern? Yang lebih tahu Saudara. Silakan dipikirkan dan dirumuskan oleh para pemimpin, oleh para tokoh dan insan pers. Yang disampaikan Pak Margiono, 10 poin tadi, sebenarnya ya sebagian besar sudah menjawab apa yang saya sampaikan ini, bagaimana baiknya pers dan media kita, kita semua, demokrasi kita makin ke depan makin baik. 



Saya harus mengulangi lagi. Kekuasaan Saudara besar sekali. Jangan tergoda. Ingat, power can too corrupt. Korbannya bisa sangat banyak. Kalau orang diberitakan besar-besar padahal ternyata tidak salah, setelah masuk pengadilan ternyata bebas, itu tujuh turunan sudah menanggung aib selamanya seperti itu. 



Saya—boleh ditulis ini —salah satu korban pers, tetapi saya sekaligus berterima kasih kepada pers. Kalau tidak dikritik, dikecam, dihujat sejak hari pertama saya jadi Presiden, mungkin saya sudah jatuh, mungkin saya semau-maunya, mungkin gegabah dalam mengambil keputusan, mungkin kebijakan saya malah aneh-aneh, mungkin saya merasa, “Wah, saya sudah pemimpin, bisa berbuat apa saja.” I have to be thankful, saya berterima kasih terhadap semuanya itu. 



Banyak kisah diktator, tiran yang tidak ada satu pun yang mengkritik. Setelah 30 tahun, jatuhnya sakit. Saya sudah cicil ini. Sakitnya sudah sembilan tahun ini karena, tiap hari, tiap minggu, tiap ini, banyak sekali yang saya terima. Tapi saya berterima kasih. Saudara menyelamatkan saya, Alhamdulillah, untuk tidak terlena, tidak, ya begitulah. Saya kira saya harus berterima kasih. 



Idealisme pers saya dukung penuh. Pastilah Saudara dalam hatinya ingin menjadi agent of democracy. Mari kita matangkan demokrasi kita. Belum matang benar, tapi better dibandingkan tanpa demokrasi, demokrasi yangcivilized



Yang kedua, Saudara juga ingin menjadi agent of development. Pembangunan belum selesai. Mari kita sukseskan bersama-sama. 



Saudara juga ingin menjadi agent of truth and justice, pastilah. Enggak mungkin pers punya cita-cita tidak menegakkan kebenaran dan keadilan. Mulailah dari berita yang benar dan berita yang adil. 



Kemudian: agent of civilization. Peradaban kita harus peradaban yang modern, penuh dengan toleransi, penuh dengan pengetahuan, bertekad menjadi bangsa yang berhasil, dan sebagainya, a good civilization



Saudara punya semuanya itu, dan saya yakin sampai perjalanan negeri ini, perjalanan bangsa ini, termasuk apa yang Saudara perankan. Mungkin setelah saya bicara ini, ada yang mengatakan, “Ah, tidak usah didengar SBY, toh mau selesai juga.” Tidak apa-apa. Tapi saya berdosa kalau hari ini tidak bicara seperti itu. Saya harus bicara, dan doa saya tentu untuk semua. 



Nah sekarang yang terakhir, saya ingin merespons yang Pak Margiono: masalah pemilu dan capres-capres itu. Mudah-mudahan, tidak membingungkan lagi. Tapi saya, Pak Margiono, tentu enggak mungkin, “Ah, saya dukung ini saja,” enggak mungkin. Saya Presiden. Kalau toh ada kepentingan politik saya, saya tahu batasnya. Saru, tidak bagus kalau saya kelihatan berpolitik praktis, gentayangan ke mana-mana, memakai jaket partai, dan sebagainya. Enggaklah. 



Saudara juga tahu, kalau tidak ada musibah Partai Demokrat, enggak mungkin saya untuk sementara menyelamatkan. Dahsyat itu kerusakan yang terjadi akibat kegiatan sekelompok kader yang keliru. Meskipun partai lain juga ada yang seperti itu, tapi Demokrat cukup menderita karena 2,5 tahun menjadi headlines dari semua media cetak dan elektronik. Dalam keadan terpaksalah saya, tapi tetap saya kembali lagi, saya mengutamakan pemerintahan. 



Ini, satu tahun terakhir tiba-tiba ada gejolak ekonomi, macam-macam. Oleh karena itu, saya minta kebersamaan, minta dukungan mengatasi ekonomi, mengatasi yang lain-lain untuk saya serahkan nanti kepada Presiden berikutnya lagi pada tanggal 20 Oktober tahun 2014.



Saudara-saudara,

Begini, saya tidak terlalu heran ya. Memang, turn over, turn out masyarakat yang berpartisipasi dalam elections itu di banyak negara rendah memang: 40%, 50%, 60%. Mengapa Indonesia sekitar tahun 2004 tinggi sekali? Karena ini sesuatu yang baru: pilpres langsung, pilgub langsung, pilbup langsung, pilwalkot langsung, “Wah, ini kalau Presiden kita pilih langsung, Indonesia minggu depan berubah. Enggak mungkin setahun. Minggu depan sudah berubah ini, adil makmur.” Itu sesuatu yang baru: kampanye, debat. Jadi ada gairah, ada semangat. 



Kita akan memilih pemimpin yang baru. Demikian juga gubernur, bupati, wali kota. Over time, tahun demi tahun, lima tahun, lima tahun, lima tahun, menjadi sesuatu yang normal, sesuatu yang biasa, maka nasib kita bisa seperti negara demokrasi yang lain ya, segitu-segitunya. Tetapi saya akan menyerukan terus bahwa jangan golput, gunakan hak pilihnya. Cepat tidaknya salah. Disuruh milih, enggak mau. Begitu terpilih, “Eh, mengapa dia?” “Ya, Anda enggak milih.” Begitu yang lain memilih ini, “Eh, mengapa dia?” Ikutlah memilih. Jadi, saya dukung semangat pers, semangat wartawan, semangat media untuk menggugah saudara-saudara kita tidak apatis, tidak golput, dan menggunakan hak pilihnya. 



Satu tahun kurang tiga hari lagi, siapa pun yang akan mengucapkan sumpahnya di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, pengganti saya nanti, harus kita terima dengan penuh, siapa pun, siapa pun, dengan satu catatan mari kita pastikan proses pemilu tahun depan, proses pemilihan Presiden benar. Kalau benar, sesuai dengan undang-undang, Undang-Undang Dasar, siapa pun yang terpilih menjadi Presiden harus kita terima dan kita dukung. Begitu konstitusionalisme, begitu kematangan demokrasi, begitu politik adiluhung, siapa pun. Jangan kita tebang pilih belum-belum, jangan kita diskriminatif, jangan kita, “Ah, ini enggak mungkin, enggak mungkin.” Semuanya serba mungkin kalau Allah menentukan, Tuhan menakdirkan. 



Tapi manusia, kita, negara, saya, Saudara, punya kewajiban. Mari kita pastikan prosesnya benar, muncul calon-calon yang oke, mengikuti aturan pemilihan umum, dengan transparansi dan akuntabilitas yang tinggi, media memberikan ruang yang kurang lebih seimbang. Saya tahu tidak mungkin sama—Pak Margiono sudah mengatakan panjang lebar—tetapi paling tidak biarkan rakyat tahu siapa calon-calon itu. 



Saya tidak tahu berapa pasang nanti, apakah tiga pasang, apakah dua pasang, apakah lima pasang. Kalau lima pasang, agak sulit mungkin karena, dengan undang-undang, kan 20%. Tahun 2004, mengapa ada lima pasang? Karena dulu yang penting lolos threshold sehingga ada lima pasang, mulai dari Pak Wiranto dengan Pak Salahuddin Wahid, Ibu Megawati dengan Pak Hasyim Muzadi, Pak Amien Rais dengan Pak Siswono Yudo Husodo, saya dengan Pak Jusuf Kalla, dan Pak Hamzah Haz dengan Pak Agum Gumelar, lima calon. Nah tahun 2009, karena sudah diatur 20%, tiga pasangan: Ibu Mega dengan Pak Prabowo, Pak Jusuf Kalla dengan Pak Wiranto, saya dengan Pak Boediono. Tahun depan, kita tidak tahu berapa pasang. 



Memang sudah ada hasil survei sekarang. Peringkat satu misalkan—ini beda-beda surveinya—antara Golkar dengan PDI Perjuangan, Demokrat dikasih peringkat ketiga, dan seterusnya, dan seterusnya. Masih ada waktu enam bulan. Bisa saja ada perubahan-perubahan, meskipun mungkin ya tidak terlalu banyak. 



Intinya, kita juga belum tahu berapa pasang nanti. Mudah-mudahan, apakah tiga pasang misalnya, itu betul-betul melalui proses election yang bagus, kampanyenya bagus, coverage-nya bagus, rakyat melihat betul, pandangannya realistik apa tidak, apa terlalu banyak janji, dan seterusnya, dan seterusnya sehingga, pada hari H, jam J, memilihlah bangsa ini pemimpin yang baru. Dan ketika rakyat mengatakan, “Yang dipilih A,” kita harus bersukacita, harus kita sambut baik-baik, dan saya akan menyerahterimakan, “Bapak atau Ibu, “Inilah yang saya lakukan selama sepuluh tahun. Ini yang telah kita capai, ini yang belum. Silakan dilanjutkan untuk lima tahun berikutnya lagi.” Kira-kira seperti itu yang kita harapkan terjadi di negeri kita tahun depan. 



Diskursusnya—saya dengar di masyarakat luas—begini, “Pak, agak sulit sekarang.” “Lho kenapa?” “Kalau dulu tahun 2004, ada lima pasang. Setelah putaran pertama, belum jelas dulu. Tapi setelah putaran kedua, rada jelas karena Pak SBY dengan Pak JK, Ibu Mega dengan Pak Hasyim Muzadi. Kemungkinan besar yang menang Pak SBY, tapi juga bisa Bu Mega menang. Artinya, lebih mudah.” Tahun 2009, ada dua kemungkinan: saya sebagai incumbentmenang lagi, terpilih lagi, atau Bu Mega atau Pak JK yang terpilih—hanya dua kemungkinan. Sekarang, kemungkinan itu masih lebar, masih belum manifest menjadi the most possible option apa yang terjadi. Tapi ini bagus, masih memberi ruang kepada rakyat kita untuk memilih siapa-siapa di antara beliau-beliau itu yang didukung. 



Warung kopi mengatakan, “Pak, bagaimana? Ada tokoh, mungkin satu orang, dua orang populer, populer sekali, tapi apa sudah siap?” Atau juga, “Pak, ada orang yang dianggap capable, tapi tidak populer.” Saya katakan, dua-duanya tetap memiliki opportunity. Orang yang populer tapi dianggap jenjangnya, prosesnya belum siap, disiapkan, dikasih ilmunya, diingatkan, “Nanti Presiden begini lho, bukan hanya mimpin 17 Agustus, bukan hanya pidato di depan DPR, bukan gitu. Itu 1/1.000 dari pekerjaan Presiden.” Dijelaskan, “Bapak, Ibu, siapkan ini. Ini tugasnya, ini pekerjaannya.” Berikan penjelasan seperti itu. Apa artinya? Kalau yang populer itu terpilih betul, bangsa ini, kita, sudah melengkapi apa yang diperlukan oleh beliau-beliau itu kalau terpilih. Oke.



Yang kedua, sebaliknya: dia capable, tapi popularitasnya belum tinggi, elektabilitasnya belum tinggi. Ya, berikan kesempatan, “Masih ada kesempatan. Berikhtiarlah. Seorang capres mesti berkeringat dong, mesti mengambil risiko. Istilahnya ‘mesti berdarah-darah’, siap kalah, siap menang. Tidak ada tiba-tiba datang dari langit, terus mengucapkan sumpah di depan MPR. Mesti dialami semua itu. Mudah-mudahan, dengan mengalami itu, makin populer, makin populer.”



Jadi, menurut saya, semua kandidat itu tetap memiliki peluang, memiliki kesempatan. Biarlah sejarah yang akan memutuskan nanti, tetapi demokrasi harus memberikan ruang. Nah pers mestinya, Pak Margiono, ikutlah memberikan ruang, ikutlah menguji, menyeleksi. 



Yang menentukan baik atau tidak baik bukan pers, bukan SBY, bukan politisi, bukan pengamat, tapi rakyat Indonesia, dan rakyat itu the real power, the silent majority. Belum tentu yang dianggap baik oleh pers, atau oleh pengamat, atau oleh saya, misalnya si A, itu yang dianggap baik oleh rakyat. Maunya kita, rakyat menyenangi calon A. Nah, calon A itu betul-betul siap, dan kita semua juga ikut mempersiapkan. Begitu sebetulnya. 



Jadi, kesimpulannya, this is democracy, terbuka semuanya, berikan kesempatan, tapi dengan cara-cara yang benar, jangan dengan cara-cara yang tidak benar karena menjadi bom waktu. 



Kekuasaan itu must be given, the mandate must be given by the people. Tidak boleh merebut di tengah jalan, mengambil dengan cara-cara yang tidak benar karena hakikat source of power, dari mana kekuasaan itu berasal harus lurus dan benar. Itulah election. Kalau election-nya benar, begitu digunakan, pasti selamat. Kalau tidak, bisa menjadi bom waktu. Sejarah banyak sekali menceritakan tentang itu di seluruh dunia.



Bapak-Ibu sekalian,

Maafkan saya terlalu banyak bicara, tetapi ini, Refleksi Banjarmasin, saya kira sesuatu yang penting, dan mungkin kapan-kapan kita bertemu lagi. Enggak usah khawatir ketemu saya. Saya bukan capres. Enggak usah khawatir. Saya bukan capres. Saya bisa suatu saat duduk di situ juga. Presidennya ganti di situ. Jadi kalau ketemu saya, relax, akan bicara-bicara seperti ini, tapi Saudara punya pahala karena ikut memikirkan masa depan kita bersama-sama saya dan yang lain.



Terima kasih. Selamat berjuang.



Wassalamu’alaikum Wr. Wb.



*****



Biro Pers, Media dan Informasi
Sekretariat Presiden



Sumber: presidenri.go.id




Ingin membuat pidato sendiri tetapi masih bingung? Butuh jasa penulisan/penyusunan pidato?
Kami sediakan jasa penyusunan pidato dengan tarif khusus

Berat merogoh kocek?

Silahkan tulis kembali teks pidato yang ada di blog ini dan modifikasi sesuai keinginan. GRATISSS!!!